![]() |
| KOPRI UINSA Tekankan Strategi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Keagamaan. [Foto: Aktivis Autentik] |
Acara dibuka secara resmi oleh panitia dengan pembacaan doa dan sambutan singkat yang menegaskan pentingnya membangun budaya berbicara dan keberanian melaporkan kasus kekerasan seksual, khususnya di lingkungan pendidikan keagamaan. Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh para narasumber yang telah diundang sebagai bentuk komitmen bersama untuk memperkuat perspektif keadilan gender, perlindungan korban, serta penguatan regulasi dan kelembagaan pencegahan kekerasan seksual.
Kegiatan ini menghadirkan beberapa pemateri, yaitu keynote speaker Herlina Herawati (Ketua KOPRI PMII Rayon Syariah dan Hukum), adapun narasumbernya Prof. Alimatul Qibtiyah, H. Musaffa Safril, Ilham Fariduz Zaman, dan Yayuk Sri Rahayu, yang dalam kegiatan tersebut dimoderatori oleh Rifqah Putri Kaharani, anggota Biro Riset dan Analisis Isu Strategis KOPRI Rayon Syariah dan Hukum, yang memandu jalannya diskusi secara interaktif dari awal hingga akhir.
Dalam sesi pembahasan data, para narasumber menyampaikan bahwa angka kekerasan dan pelecehan seksual masih tinggi hingga saat ini, baik di ranah domestik maupun di ruang publik. Masih banyak pihak yang cenderung menyalahkan korban dengan menyoroti cara berpakaian atau penampilan, sementara data menunjukkan korban pelecehan seksual juga tinggi di beberapa sektor pekerjaan, terutama di kalangan aparatur sipil negara serta anggota TNI dan Polri.
![]() |
| KOPRI UINSA Tekankan Strategi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Keagamaan. [Foto: Aktivis Autentik] |
Di dunia pendidikan, kasus kekerasan dan pelecehan seksual masih ditemukan di pesantren maupun di kampus, dengan pelaku yang seringkali memiliki posisi atau kekuasaan sehingga membuat korban berada pada posisi yang serba sulit. Respon korban beragam, ada yang memilih diam karena takut stigma dan ancaman, dan ada pula yang berani melawan, sementara korban yang diam kerap disalahpahami seolah membiarkan atau menikmati perlakuan tersebut, padahal mereka menghadapi tekanan sosial dan psikologis yang berat.
Para narasumber juga menyoroti bahwa saat ini di banyak kampus telah dibentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) yang mulai aktif melakukan sosialisasi, pendampingan, dan mekanisme pelaporan yang lebih ramah korban. Kehadiran Satgas PPKS dinilai sebagai langkah konkret untuk menjawab kebutuhan sistematis dalam mencegah kekerasan seksual sekaligus memberikan jalur pemulihan yang lebih pasti bagi korban.
Salah satu narasumber H. Musaffa Safril menegaskan bahwa korban kekerasan seksual umumnya mengalami beban psikologis yang berat sehingga tampak dari perubahan perilaku sehari-hari yang tidak biasa.
“Oleh karena itu, keluarga, teman, dan lingkungan sekitar perlu memiliki kepekaan untuk membaca tanda-tanda perubahan tersebut, mendengarkan cerita korban tanpa menghakimi, serta mengarahkan mereka kepada layanan pendampingan hukum maupun psikologis yang tersedia,” katanya.
Pada sesi tanya jawab, peserta aktif mengajukan pertanyaan terkait strategi praktis mencegah kekerasan seksual di kelas, di asrama, maupun di ruang organisasi, serta mekanisme pelaporan yang aman bagi mahasiswa dan santri. Diskusi berkembang pada pembahasan pentingnya pendidikan seksualitas yang komprehensif, penyusunan SOP penanganan kasus di lembaga pendidikan, dan penguatan kerja sama dengan lembaga layanan, termasuk komnas perempuan, lembaga bantuan hukum, serta pusat krisis perempuan dan anak.
Kegiatan public discussion ini ditutup dengan penegasan komitmen bersama untuk membangun budaya “speaking culture” sebagai upaya memutus mata rantai kekerasan seksual, mendorong keberpihakan pada korban, dan mengawal implementasi kebijakan pencegahan kekerasan seksual di kampus maupun lembaga pendidikan keagamaan lainnya.
Penulis: Tsalisa Putri Mazidah (Anggota Biro Riset dan Analisis Isu Strategis).
.jpg)

0 Komentar