Warta

Aku NU - Dan Kali Ini Memilih Menjadi Wahabi

Suriadi, Mahasiswa Doktoral Universitas KH. Abdul Chalim Mojokerto, Kader PMII Kalimantan Utara. [Foto: Aktivis Autentik]
Aktivis Autentik - Aku lahir dari orangtua yang NU dan lingkungan dengan amaliah Islam ala NU. Mama dari suku Tidung Melayu dan Bapak dari suku Bugis Bulukumba. Keduanya membawa identitas kegamaan yang sama - memperkaya amaliah NU pada tradisi keagamaan keluargaku yang tinggal di Nunukan, Kalimantan Utara.

Bisa dikata. Seumur-umur, aku ini NU - NU yang kaffah, yang kalau mendengar istilah tawassul langsung berbinar. Dan kalau disebut bidah rasanya refleks ingin mendebat siapa saja yang mengucapkannya. Bahkan sampai subuh pun aku siap. 

Latar belakang keagamaan itulah yang membuat hubunganku dengan kawan-kawan wahabi layaknya Tom dan Jerry: selalu kejar-kejaran kapan saja untuk saling bertukar-lempar argumen. 

Tak bisa aku membayangkan betapa heroiknya ketika kami bertengkar soal qunut, sampai-sampai percakapan itu terasa seperti diplomatik tingkat dunia. Aku dengan riwayat ulama dan sanadnya, mereka dengan dalil shahihnya. Namun suatu hari, dunia itu berubah arah. Bukan karena dalil, bukan pula karena fatwa. 

Momen itu terjadi, saat aku melihat bumi sedang sekarat-sekaratnya; hutannya botak, sungainya menua, udaranya menggigil karena polusi.  Justru bertepatan dengan momen itu, melintas video viral. Seorang Gus NU mengatakan: orang yang fanatik membela bumi disebut "Wahabi Lingkungan"

Di tengah bencana yang makin rumit ini. Kalimat itu membanting teman-teman aktivis lingkungan yang notabenenya juga NU.  Padahal, alam kita semacam tengah mendapat siksa kubur ekologis yang mulai terasa, bahkan sebelum alam ini menutup mata. 

"Kenapa anda begitu peduli untuk mengembalikan alam ke ekosistem awal?", tambahnya. 

Boom, kalimat yang menambah perih irisan perjuangan teman-teman aktivis lingkungan. Ia mengiris perasaan kami yang hidup di area pertambangan. Begitupun aku yang besar di daerah yang dikelilingi perusahaan. Kalimat itu sungguh menghujam jantung. 

Aku tidaklah fanatik seperti yang diasumsikan - menolak penuh memanfaatkan alam. Hanya saja, aku juga bisa membedakan saat seseorang itu memosisikan alam sebagai subjek atau objek. Apakah alam itu disahabati atau dieksploitasi. 

Ulama pernah merespon eksploitasi alam yang berlebih ini dengan merumuskan Fikih Lingkungan. Kerangka nilai yang menuntun manusia berhubungan dengan alam secara imbang. Yang jika lebih jauh, selanjutnya dapat menjadi panduan operasional yang menjembatani manusia dan alam dalam berhubungan. 

Saking pentingnya alam bagi manusia. Para Ulama, sebut saja Syekh Yusuf Qardawi dan KH. Alie Yafie merumuskan fan ilmu itu secara serius, yang dianggap mampu memandu hubungan pertemanan antara manusia dengan alam. 

Rumusan mereka memberikan rambu-rambu dan etika jalinan pertemanan manusia dan alam. Bahwa alam juga makhluk yang memiliki hak asasi untuk hidup, berkembang, dan menjalankan fungsi ekologisnya secara alami, tanpa eksploitasi yang merusak oleh manusia. 

Sudah tentu, sebagai subjek, alam selayaknya disahabati sebagaimana manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Ia memiliki "hak". Dan bukan hanya sekadar sumber daya bagi manusia. 

Semakin kucermati kondisi alam, utamanya daerah yang mengalami perusakan brutal. Aku seperti mengalami momen aneh: tiba-tiba aku siap menjadi wahabi. Sebagaimana yang dituduhkan itu.

Bukan wahabi yang kutengkar setiap hari. Bukan wahabi yang mempersoalkan maulid atau tahlil. Tapi wahabi lingkungan - orang yang radikal, anti kompromi, super puritan dalam urusan menjaga alam. 

Biar saja aku dicap garis keras ketika melarang plastik sekali pakai. Biarlah aku disebut ekstrim ketika memaksa reboisasi jadi kewajiban moral. Biarlah orang menuduhku ghuluw karena marah-marah jika melihat sampah dibuang sembarangan. Jika itu semua demi kelangsungan hidup bumi, maka terimalah: aku “wahabi”.

Sedemikian ekstremnya memang aku saat ini. Karena Aku tidak tau cara meminta maaf kepada bumi selain menjaganya. 

Aku hanya ingin kita sama-sama tau bahwa yang paling menakutkan bukan hanya fatwa sesat, tapi masa depan tanpa air bersih. Yang lebih mengerikan dari perbedaan qunut dan tidak qunut adalah ladang tambang menggantikan hutan. Dan yang lebih terasa menghunus dada daripada perdebatan maulid adalah anak cucu yang tumbuh di planet tambal-sulam hasil kerakusan kita sendiri.

Aku pernah membaca filosofi suku Indian: "Bumi yang kami pijak hari ini adalah bumi yang kami pinjam dari anak dan cucu kami 50 tahun lagi". Karena ia pinjaman, akan kami jaga, akan kami kembalikan dengan kondisi yang sama saat kami meminjamnya. 

Maka aku bersyahadat ekologis:

“Tidak ada kelangsungan tanpa konservasi, dan perlindungan alam adalah kewajiban yang nyata adanya”.

Jika menjaga bumi dianggap ekstrim, ya sudahlah. Kadang ekstrem dibutuhkan untuk menyelamatkan sesuatu yang hampir hilang. Kalau bukan kita, siapa lagi? Mau menunggu ulama atau aktivis saja bekerja? Mau menunggu debat panjang dulu, baru bertindak? Sementara alam ini tidak menunggu ijma’.

Akhirnya aku sadar, musuhku bukan wahabi - dan mungkin jangan untuk kali ini.  Karena sekali ini, aku ingin mengajak mereka membangun koalisi melawan para perusak bumi. Karena musuhku adalah aku sendiri ketika terlambat peduli.

Perbedaan mazhab bisa selesai dengan kopi, tapi kerusakan alam tak selesai dengan doa tanpa upaya. Dan pada akhirnya, lebih baik dituduh puritan soal lingkungan daripada meratap nanti di atas tanah yang tak lagi memberi kehidupan.

Kalau menjaga bumi membuatku disebut wahabi. Maka jari ini, dengan penuh kesadaran dan tanpa debat panjang, aku siap menjadi wahabi itu. 

Bagaimana tidak. Jika aku tidak salat, aku bertanggung jawab sepenuhnya atas salah itu. Jika aku mencuri, aku merugikan diri sendiri dan orang lain. Jika aku korupsi maka ribuan bahkan jutaan orang akan kesulitan hidupnya karena perilaku itu. Mungkin juga akan kelaparan. Jika aku menebang pohon sembarangan dan berlebihan, akan banyak nyawa melayang, lingkungan rusak, peradaban hilang. Lalu mengapa agama tidak mengurus secara serius wilayah ini?

Pertanyaan itu, mengundang hal lain, bahwa menjadi wahabi lingkungan adalah keseriusan yang aku pikirkan. Ia adalah kejujuran yang kubangun diam-diam. 

Aku juga tak ingin dianggap menyerang Gus itu melalui tulisan ini. Dianggap membangun framing yang nanti dianggap salah. Karena di lain sisi, ia tidaklah sepenuhnya bertanggungjawab atas kerusakan alam. Karena jauh sebelum ia memuntahkan kalimat "wahabi lingkungan". Alam ini telah lebih dulu dirusak oleh pejabat negeri ini.

Lalu di saat negeri ini dilanda bencana, pejabat itu, mereka datang menjadi hero. Dan aku menyaksikan mereka memerankan hal yang paling berbahaya, bahwa untuk merusak sesuatu berpura-puralah membelanya. Sebagaimana pejabat yang tak sadar diri itu. 

Bencana mereka jadikan panggung. Lumpur menjadi properti. Tenda pengungsian menjadi dekor. Rakyat yang bersedih dipinggirkan sebagai figuran di frame kamera mereka. Dengan bangganya mereka memainkan peran penyelamat yang tiba tepat pada waktunya. Padahal, tangan mereka itu turut mengaminkan bencana-bencana itu terjadi. 

Sekali lagi, biarlah aku menjadi wahabi lingkungan yang puritan. Semakin banyak yang sepertiku akan semakin baik lagi. Dan aku percaya, suatu hari nanti, mimbar suci itu akan mengkhotbahkan: "Kafir orang-orang yang menebang pohon berlebihan"

Penulis: Suriadi, Mahasiswa Doktoral Universitas KH. Abdul Chalim Mojokerto, Kader PMII Kalimantan Utara.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close