Warta

Shaming dalam Jiwa Kader PMII: Menjaga Marwah Organisasi di Tengah Dinamika Kritik

Hasan Komarudin, Kader PMII Kabupaten Lebak. [Foto: Aktivis Autentik]
Aktivis Autentik - Dalam kehidupan berorganisasi, terutama di lingkungan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dinamika interaksi sosial dan intelektual adalah hal yang wajar, bahkan menjadi tanda kehidupan sebuah organisasi yang sehat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang cukup mengkhawatirkan di kalangan kader PMII, yakni praktik shaming—menjelek-jelekkan, mempermalukan, atau menyebarkan narasi negatif tentang sesama kader maupun tentang organisasi sendiri di ruang publik. Fenomena ini sering muncul dalam bentuk status media sosial, tulisan opini, hingga unggahan yang bersifat insinuatif, seolah-olah mengungkap “kebenaran” tentang kondisi internal organisasi, padahal disampaikan dengan cara yang destruktif dan tanpa konteks yang utuh.

Shaming seperti ini, bila dibiarkan, bukan hanya mencederai hubungan emosional antar kader, tetapi juga merusak citra dan kepercayaan publik terhadap organisasi. PMII sebagai gerakan kaderisasi intelektual dan sosial mestinya menjadi laboratorium nilai—bukan arena saling menjatuhkan. Kritik tentu perlu, bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi berpikir kritis dalam PMII. Namun, kritik yang sehat berbeda jauh dari shaming yang berlandaskan kekecewaan pribadi dan kebencian.

Dalam perspektif gerakan, organisasi hanyalah wadah perjuangan. Ia bukan tujuan akhir, melainkan medium untuk mencapai cita-cita sosial, intelektual, dan spiritual kader. PMII berdiri pada 17 April 1960 dengan semangat memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan, baik struktural maupun kultural. Namun, wadah ini tidak akan berfungsi dengan baik jika di dalamnya muncul sikap-sikap yang menggerus kepercayaan antaranggota.

Kekecewaan terhadap sesama kader, pengurus, atau bahkan senior adalah sesuatu yang manusiawi. Namun, ketika kekecewaan itu diwujudkan dalam bentuk serangan personal, fitnah, atau penyebaran aib di ruang publik, maka yang rusak bukan hanya individu, melainkan roh pergerakan itu sendiri. Kader sejati memahami bahwa organisasi hanyalah wadah; yang terpenting adalah nilai dan tujuan pergerakan di dalamnya.

Fenomena Shaming dan Dampaknya terhadap Etika Kader

Fenomena shaming di lingkungan PMII dapat muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang menulis status media sosial dengan nada sinis terhadap keputusan organisasi, ada yang menuding senior atau pengurus “tidak paham nilai pergerakan,” bahkan ada yang menyebarkan narasi seolah organisasi telah kehilangan arah. Padahal, publik luar tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dinamika internal tersebut. Akibatnya, yang terlihat adalah citra negatif organisasi, bukan substansi kritiknya.

Dalam etika sosial, tindakan seperti ini termasuk dalam kategori gibah atau bahkan fitnah apabila informasi yang disebarkan tidak utuh. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) mengajarkan pentingnya menjaga lisan dan kehormatan sesama muslim. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan, “Lisan adalah cermin hati. Bila lisan dibiarkan tanpa kendali, maka kehancuran lah yang mengikuti.”

Artinya, kader PMII yang berasaskan Aswaja seharusnya memiliki kesadaran etis dalam menggunakan media sosial dan ruang publik. Kritik terhadap organisasi boleh dan bahkan perlu, tetapi harus dibingkai dengan adab dan kasih sayang. Inilah yang disebut oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari sebagai ta’addub fil khilaf—beradab dalam perbedaan.

Kritik VS Shaming: Memahami Batas dan Etika

Kritik merupakan bagian dari dinamika berpikir dalam PMII. Dalam sejarahnya, PMII dikenal sebagai organisasi yang terbuka terhadap kritik internal. Namun, kritik yang konstruktif berbeda secara mendasar dengan shaming yang destruktif.

Kritik sejati lahir dari cinta terhadap organisasi, dari dorongan untuk memperbaiki, bukan mempermalukan. Kritik adalah upaya membangun kesadaran bersama melalui argumentasi rasional dan tanggung jawab moral. Sedangkan shaming berangkat dari emosi negatif, dendam, atau kekecewaan pribadi yang belum terselesaikan.

Dalam falsafah pergerakan, kritik memiliki tiga unsur utama: niat, cara, dan konteks.

  1. Niat harus didasari keinginan memperbaiki, bukan menjatuhkan.
  2. Cara harus santun, proporsional, dan sesuai jalur organisasi (forum musyawarah, rapat, diskusi kader, dan sebagainya).
  3. Konteks harus jelas: apakah isu tersebut layak dibawa ke publik atau cukup diselesaikan di internal.

Ketika salah satu unsur itu hilang, maka kritik kehilangan nilai pergerakannya dan berubah menjadi shaming. Di sinilah pentingnya etika kaderisasi PMII: mendidik anggota agar mampu berpikir kritis tanpa kehilangan sopan santun, menyampaikan aspirasi tanpa menebar kebencian.

Aswaja dan Khitah PMII sebagai Basis Etika Kader

Nilai-nilai Aswaja menjadi pondasi utama bagi setiap kader PMII dalam bersikap. Aswaja mengajarkan keseimbangan antara akal, hati, dan tindakan. Dalam tradisi Nahdlatul Ulama—yang menjadi rahim ideologis PMII—ada konsep tawasuth, tasamuh, tawazun, dan i’tidal. Keempat nilai ini seharusnya menjadi filter dalam menyikapi kekecewaan dan perbedaan pandangan di internal organisasi.

  1. Tawasuth (moderat): menolak ekstremisme dalam berpikir dan bertindak, termasuk ekstrem dalam mengkritik.
  2. Tasamuh (toleran): menghargai perbedaan pandangan kader lain.
  3. Tawazun (seimbang): menempatkan kritik secara proporsional antara cinta dan logika.
  4. I’tidal (adil): menyampaikan kritik dengan niat dan cara yang benar.

Dengan berpegang pada nilai-nilai ini, kader PMII akan mampu mengubah energi kekecewaan menjadi energi konstruktif. Kritik yang dibangun atas dasar tawasuth dan i’tidal akan melahirkan perbaikan, bukan perpecahan. Sebaliknya, shaming yang didorong oleh ego dan emosi akan menciptakan luka sosial di tubuh pergerakan.

Dalam Khittah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, disebutkan bahwa PMII bertujuan “membentuk pribadi muslim Indonesia yang bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap, dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya.” Amanat ini mengandung tanggung jawab moral besar bagi setiap kader, terutama dalam menjaga citra organisasi di ruang publik.

Kader PMII tidak hanya dituntut menjadi aktivis yang vokal, tetapi juga intelektual yang beretika. Kritik yang baik adalah bagian dari tanggung jawab intelektual, sedangkan shaming adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai pergerakan.

Selain itu, dalam Khittah juga ditegaskan bahwa PMII berfungsi sebagai wadah perjuangan yang bersifat terbuka, demokratis, dan non-partisan. Ini berarti, perbedaan pandangan dalam tubuh PMII adalah keniscayaan, namun harus dikelola dengan semangat persaudaraan dan tanggung jawab. Ketika kader gagal menjaga perbedaan dengan cara yang elegan, maka yang hilang bukan hanya solidaritas, tetapi juga identitas moral sebagai pergerakan mahasiswa Islam.

Dampak Sosial dari Shaming di Era Digital

Era digital memberikan ruang luas bagi kader untuk mengekspresikan pendapat. Namun, kebebasan tanpa etika sering kali menjadi bumerang. Sekali narasi negatif tentang organisasi diunggah ke media sosial, ia akan menjadi konsumsi publik yang tak bisa dikendalikan. Orang luar yang tidak paham konteks internal akan menilai secara sepihak, dan efek domino pun terjadi: kepercayaan publik menurun, kader baru kehilangan semangat, dan solidaritas melemah.

Lebih berbahaya lagi, shaming di ruang digital sering disertai dengan echo chamber effect, di mana individu hanya berinteraksi dengan mereka yang sependapat. Akibatnya, persepsi yang terbentuk menjadi semakin ekstrem dan jauh dari kenyataan. Kader yang kecewa merasa “benar sendiri,” sementara organisasi dianggap “pihak salah.” Padahal, realitasnya jauh lebih kompleks.

Di sinilah pentingnya membangun literasi digital kader PMII: bukan hanya paham cara menggunakan media sosial, tetapi juga paham etika berkomunikasi di dalamnya. Seorang kader pergerakan harus mampu menahan diri, memilah mana yang pantas disampaikan di ruang publik dan mana yang seharusnya menjadi bahan evaluasi internal. Menjaga marwah organisasi bukan berarti menutup kritik, tetapi menyalurkannya secara bermartabat.

Menjaga Marwah Organisasi sebagai Tanda Kedewasaan

Menjaga marwah organisasi bukan berarti menutup ruang kritik, tetapi menunjukkan kedewasaan dalam berorganisasi. Kader yang dewasa tidak akan mempermalukan rumahnya sendiri di hadapan orang lain. Ia akan menyelesaikan masalah di dalam, dengan dialog dan adab.

Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.”

Hadis ini tidak berarti kita menutupi keburukan secara membabi buta, melainkan menegaskan pentingnya menjaga kehormatan dan menyelesaikan persoalan dengan cara yang baik.

PMII adalah rumah besar yang dibangun dengan cinta dan perjuangan. Jangan biarkan rumah ini retak karena ego dan amarah yang tidak terkendali. Shaming terhadap organisasi atau sesama kader bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga tanda kegagalan dalam memahami esensi pergerakan.

Kecewa boleh, kritik perlu, tapi shaming bukan jalan keluar. Sebab, sejatinya kader PMII yang matang tidak mengumbar luka ke publik, melainkan mengubahnya menjadi energi untuk memperbaiki organisasi dan diri sendiri.

Penulis: Hasan Komarudin, seorang penulis Novel “Arly (Aku Yang Salah)” 2022 | Buku “Santri Generasi Z (Mengenal Identitas Remaja Muslim di Era Digital)” 2023 | Buku “Cie Jomblo (Remender Akan Rahmat Tuhan Yang Maha Mencintai Hambanya)” 2023 | Buku “Seni Menghargai Diri Sendiri 2024” | Buku “Metode Musyawarah: Sebagai Strategi Untuk Meningkatkan Pemahaman Santri” 2025

Sekretaris Rayon Tarbiyah PMII WASFAL 2022 | Ketua 2 Komisariat PMII WASFAL 2023 | Ketua Biro Media & Publikasi PC PMII Lebak 2024 | Ketua Umum PP FKRML (Forum Komunikasi Remaja Masjid Lebak) 2025 (cukup strategis untuk memegang amanat kepemimpinan OKP berbasis keagamaan yang dapat bermitra dengan PMII Cabang Kab. Lebak).

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close