![]() |
Kader PMII Komisariat UINSI Samarinda/Foto: Aktivis Autentik |
Dalam kitab Ziyadah at-Ta'liqat, Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari menjelaskan, “Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli fiqih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi SAW dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah an-najiyah). Ulama mengatakan sungguh kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam mazhab yang empat, yaitu pengikut mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.” Penambahan istilah “an-Nahdliyah” mencerminkan metode pemikiran khas NU dan warisan Islam Nusantara yang membedakan Aswaja dari aliran lain dalam Islam.
Nilai-nilai Aswaja An-Nahdliyah meliputi tiga bidang utama: aqidah, fiqih, dan tasawuf. Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini termasuk Imam al-Asy'ari, Imam al-Ghazali, dan Imam al-Junaid. Nilai-nilai ini diringkas dalam empat prinsip utama: Tawasuth (moderat), Tawazun (keseimbangan), Tasamuh (toleransi), dan Ta'adul (keadilan).
Tawasuth mengajarkan keseimbangan dalam berpikir dan bertindak, tanpa ekstremisme. Prinsip ini tercermin dalam QS Al-Baqarah: 143, yang menyebutkan bahwa umat Islam adalah umat yang tengah di tengah, tidak berlebihan. Hal ini mengajarkan pentingnya moderasi dalam kehidupan sehari-hari dan beragama. Moderasi ini bertujuan untuk mencegah ekstremisme dan mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan keseimbangan dan keadilan.
Tawazun berarti keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Ini mencakup menyeimbangkan kegiatan akademik dan non-akademik serta hubungan vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan manusia. Keseimbangan ini juga tercermin dalam QS Al-Hadid: 25, yang menyatakan bahwa Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan di muka bumi. Tawazun mengajarkan bahwa individu harus mampu menyeimbangkan berbagai tanggung jawab dan kepentingan dalam hidup mereka, baik dalam hal spiritual, sosial, maupun pribadi.
Tasamuh menekankan sikap toleransi terhadap perbedaan. Sikap ini berdasarkan QS Al-Hujurat: 13, yang menyatakan bahwa perbedaan suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal dan berinteraksi dengan baik. Tasamuh mengajarkan untuk menghargai dan menerima perbedaan dalam masyarakat dan dalam organisasi, serta membuka ruang bagi dialog dan pemahaman antaranggota yang berbeda latar belakang.
Ta’adul menekankan pentingnya keadilan dalam bertindak. Prinsip ini dijelaskan dalam QS Thaha: 44, yang memerintahkan untuk berlaku adil tanpa memihak dalam menghadapi perbedaan. Ta’adul mengajarkan bahwa keadilan harus menjadi prinsip dasar dalam segala tindakan dan keputusan, baik dalam konteks pribadi maupun dalam organisasi.
Urgensi nilai-nilai Aswaja An-Nahdliyah dalam PMII terletak pada dua poin utama. Pertama, Pancasila sebagai asas organisasi PMII memerlukan nilai-nilai moderat, toleran, adil, dan seimbang untuk mendukung komitmen menjaga kesatuan Indonesia. Nilai-nilai Aswaja yang moderat, toleran, adil, dan seimbang mendukung komitmen ini dengan memberikan dasar etika dan moral yang kuat dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, PMII mengikuti ideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan mengikuti ajaran Abu Hasan Al-Asy'ari dan Imam Mansur Al Maturidi dalam teologi serta merujuk pada empat madzhab besar dalam fiqih. Nilai-nilai ini dirumuskan dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) untuk memudahkan kader dalam memahami ajaran ulama yang dianut. PMII juga menyeimbangkan modernitas dan tradisionalitas
Internalisasi nilai-nilai ini melibatkan beberapa dimensi penting. Dalam konteks PMII, prinsip Al-Muhafadzah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah—yang berarti “memelihara hal lama yang baik (shalih), dan mengambil hal baru yang lebih baik (ashlah)”—merupakan pedoman berharga. Ungkapan ini, menurut KH Achmad Siddiq, adalah patokan bagi NU dalam melakukan pembaruan (tajdid). Prinsip ini mencakup tiga dimensi utama: menilai masa lalu, mengembangkan masa kini, dan merintis masa depan.
Dimensi pertama, menilai masa lalu, berarti mempertahankan nilai-nilai positif yang telah ada dari pemikiran atau ijtihad generasi terdahulu, termasuk sahabat dan ulama mujtahidin. Ini mencakup pemurnian nilai-nilai dari pengaruh yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti khurafat dan unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam konteks PMII, ini berarti menghargai dan memelihara tradisi dan nilai-nilai positif yang diwariskan oleh NU, sambil memastikan bahwa mereka tetap relevan dan sesuai dengan prinsip Aswaja.
Dimensi kedua, mengembangkan masa kini, melibatkan penerimaan hal-hal baru yang bermanfaat dan sesuai dengan ajaran Islam, serta pengembangan hal-hal tersebut menuju arah yang lebih bermanfaat. Ini termasuk penolakan terhadap hal-hal baru yang bertentangan atau membahayakan ajaran Islam. Bagi mahasiswa PMII, ini berarti mengadopsi teknologi dan metode baru dalam kegiatan akademik dan organisasi, selama tidak bertentangan dengan prinsip Aswaja. Misalnya, penggunaan media sosial untuk penyebaran nilai-nilai keaswajaan atau pengembangan program-program inovatif dalam pengabdian masyarakat.
Dimensi ketiga, merintis masa depan, berfokus pada penciptaan inisiatif dan konsepsi baru yang sesuai dengan asas dan haluan perjuangan Islam ala madzhab Ahlussunnah wal Jamaah. Ini juga mencakup langkah-langkah pencegahan terhadap hal-hal yang dapat membahayakan ajaran Islam. Dalam konteks PMII, ini berarti merancang strategi dan inisiatif baru yang relevan dengan tantangan zaman sambil tetap berpegang pada nilai-nilai Aswaja. Ini juga melibatkan upaya untuk mengatasi dan mencegah ideologi atau praktek yang dapat merusak integritas organisasi dan prinsip-prinsip keaswajaan.
Dalam era modern ini, internalisasi nilai-nilai Aswaja harus mempertimbangkan kebutuhan dan tantangan zaman. Kader PMII harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam konteks digital dan globalisasi. Aktivitas seperti diskusi online, seminar virtual, dan penggunaan media sosial untuk penyebaran nilai-nilai keaswajaan dapat memperkuat internalisasi. Pelatihan dan pembinaan kader harus tantangan seperti pergeseran nilai dan isu-isu sosial kontemporer. Kegiatan pengabdian masyarakat yang relevan dengan isu terkini dan pelatihan keterampilan praktis juga penting.
Melalui proses ini, diharapkan nilai-nilai Aswaja An-Nahdliyah dapat tertanam dalam diri kader PMII, membentuk karakter mereka sebagai pribadi yang moderat, seimbang, toleran, dan adil. Dengan demikian, kader PMII dapat berkontribusi secara efektif dalam masyarakat, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip keaswajaan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Penulis: Hizbul Aulia Indriansyah, Kader PMII Komisariat UINSI Samarinda.
0 Komentar