Warta

Gubuk Derita: Di Rumah Kecil Itu, Aku Belajar Mencintai Tanpa Syarat

Muhammad Akbar Hidayatulloh, Kader PMII Rayon “KAWAH” Chondrodimuko/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Ada satu nama yang melekat begitu dalam dalam ingatan saya. Bukan nama orang, bukan pula nama tempat yang megah—melainkan sebutan sederhana yang kami berikan pada tempat paling jujur yang pernah kami tinggali: Gubuk Derita.

Julukan itu terdengar getir saat pertama kali saya dengar. Seorang alumni menyebutnya sambil tertawa kecil, seolah menyimpan terlalu banyak cerita dalam satu frasa itu saja. Saya tak langsung mengerti. Tapi seiring waktu, saat kaki ini mulai menapak setiap sudut basecamp, saat malam demi malam saya lewati bersama wajah-wajah yang kini seperti keluarga—saya mulai memahami: ini bukan sekadar gubuk. Ini adalah tempat di mana cinta tumbuh dalam keterbatasan, dan makna hidup perlahan ditemukan.

Basecamp bukan rumah dengan furnitur lengkap, bukan kontrakan nyaman dengan fasilitas mumpuni. Ia hanya bangunan sederhana, sering sesak, kadang bocor, tapi selalu hangat. Karena yang menghidupinya bukan dinding atau atap, melainkan jiwa-jiwa yang memilih tinggal bukan karena nyaman, tapi karena panggilan untuk berproses.

Sebagai Wakil Ketua Rayon, saya tinggal di sana bersama Badan Pengurus Harian dan beberapa koordinator lembaga. Tak ada kamar pribadi, hanya ruang sempit yang kami sulap menjadi ruang rapat, dapur umum, tempat tidur, dan sesekali panggung diskusi tengah malam. Kader perempuan mungkin tak menetap, tapi mereka hadir—dengan semangat, dengan senyuman, dengan peluh yang sama.

Di sinilah saya belajar: bahwa rumah bukan soal luasnya ruang, tapi dalamnya hubungan. Bahwa tempat tinggal terbaik adalah tempat di mana kita merasa dibutuhkan, dicintai, dan diakui keberadaannya.

Gubuk Derita, namanya memang terdengar menyedihkan. Tapi bukan derita yang membuat kami lemah—justru di sinilah kami belajar bertahan. Belajar tertawa di tengah lapar. Belajar bahu-membahu saat uang menipis. Belajar menyembuhkan satu sama lain ketika luka tak bisa disembunyikan lagi.

Pernah, di akhir bulan yang kelabu, kami memasak dedaunan liar dari halaman. Rasanya? Tak bisa dibanggakan. Tapi di tengah kekurangan, rasa itu menjadi istimewa. Karena kami memasaknya bersama, menertawakan nasib bersama, dan makan dengan hati yang penuh syukur.

Tak ada yang mewah, tapi segalanya terasa cukup.

Di Gubuk Derita, saya belajar banyak hal yang tak diajarkan kampus. Tentang bagaimana mendengarkan tanpa menghakimi. Tentang bagaimana menyelesaikan konflik tanpa harus membuktikan siapa yang benar. Tentang bagaimana menempatkan diri sebagai bagian dari cerita bersama—bukan sebagai tokoh utama.

Setiap malam adalah kelas. Setiap obrolan adalah pelajaran. Kadang dari alumni yang mampir tiba-tiba, kadang dari adik kader yang menangis diam-diam di pojok ruangan. Kadang bahkan dari ibu-ibu tetangga yang datang membawa makanan tanpa diminta—sebuah keajaiban kecil yang mengajarkan kami arti kepedulian di luar struktur organisasi.

Tak ada yang dibayar di sini. Tak ada sertifikat untuk lelah yang kami kumpulkan. Tapi kami tetap berjalan. Kami tetap hadir. Kami tetap melayani.

Karena di tempat ini, kami tak sedang mengejar pengakuan. Kami sedang membangun sesuatu yang lebih abadi: rasa memiliki. Rasa bahwa perjuangan ini bukan hanya milik satu dua orang, tapi milik kita semua yang pernah tidur di lantai yang dingin, makan dari piring yang sama, dan bermimpi dari harapan yang serupa.

Kini, setelah semua selesai, saya melihat ke belakang bukan dengan getir, tapi dengan senyum. Gubuk Derita bukan lagi simbol penderitaan. Ia adalah saksi bagaimana kami tumbuh bersama. Dari anak-anak muda yang lugu menjadi manusia yang lebih matang, lebih sabar, lebih manusiawi.

Di tempat itu, kami tidak hanya menghidupi organisasi. Kami justru menemukan hidup kami di dalamnya.

Dan mungkin, di antara semua tempat yang pernah saya tinggali, hanya Gubuk Derita yang membuat saya merasa benar-benar pulang.

Gubuk Derita mengajarkan saya satu hal yang tak bisa dibeli: bahwa cinta tak selalu hadir dalam bentuk yang indah. Kadang cinta itu berwujud keringat, lapar, konflik, bahkan air mata. Tapi justru karena itu, cinta semacam ini jauh lebih nyata. Ia tidak datang untuk menyenangkan, tapi untuk membentuk.

Dan cinta semacam inilah yang tumbuh di basecamp kami. Cinta yang tidak menuntut apa-apa, selain kesediaan untuk hadir, berproses, dan saling menggenggam.

Terima kasih, Gubuk Derita. Engkau memang tak megah, tapi engkau pernah menjadi dunia kecil yang mengajarkan kami cara mencintai dengan sebenar-benarnya.

Penulis: Muhammad Akbar Hidayatulloh, Kader PMII Rayon “KAWAH” Chondrodimuko.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close