Warta

Film Yuni dan Sulitnya Perempuan Bersuara dalam Cengkeraman Patriarki

film-yuni-dan-sulitnya-perempuan-bersuara-dalam-cengkeraman-patriarki

Di tengah kesibukan menulis proposal skripsi dan rasa pilu mendengar berita kekerasan seksual terhadap perempuan yang terus-menerus bermunculan dari hari ke hari, bersamaan dengan payung hukum yakni RUU TPKS yang belum kunjung disahkan. Kemunculan kasus-kasus tersebut menambah frustrasi banyak orang mengenai isu kekerasan seksual dan tidak adanya ruang aman bagi perempuan. Sementara itu, secara kebetulan, hadir sebuah Film di tengah banyaknya kasus-kasus pilu nan menjijikkan ini dengan kerelevanannya. Aku ingin membincang mengenai film berjudul ‘Yuni’ yang ku tonton beberapa hari lalu dibioskop SNC Tuban.

Sebelum ku putuskan untuk memilih film ini terlebih dahulu telah kulihat review-nya yang tidak sengaja lewat di beranda tiktok. Film ini mengisahkan tentang kehidupan perempuan, penulisnya juga perempuan, pastinya ia paham dan punya perspektif bagus terkait apa yang ia tuliskan. Film yang juga telah memperoleh beragam penghargaan. “Menarik nih!” Pikirku kala itu. Aku sudah punya ekspektasi bagus terkait film ini namun ternyata yang ku dapati jauh melampaui itu. Tidak salah rasanya keputusanku memilih untuk menonton film ‘Yuni’ meskipun saat itu hanya ada kurang dari 10 orang yang menonton. Terlihat sepi penikmat memang jika dibandingkan dengan judul film-film yang lain. Padahal menurutku film ini sangat recomended untuk di tonton. Jadi hari ini ku putuskan untuk menuliskan sedikit review-nya.

Film ini mengisahkan sesuatu yang dekat dengan kita, namun sering kali kita malas membicarakannya atau malah enggan mengakui keberadaannya karena masih dianggap tabu dan tak layak dibicarakan. Potret Yuni dalam film diceritakan merupakan seorang remaja kelas 3 SMA yang sebentar lagi akan lulus, remaja yang memiliki keingintahuan tinggi layaknya yang dirasakan oleh remaja pada umumnya ketika beranjak dewasa. Namun ia besar di tempat yang masih kental dengan budaya patriarki sehingga mimpi-mimpinya terbatasi. Film ini tak hanya mencoba melawan patriarki yang mengakar karena budaya lokal, namun juga mendobrak tradisi berbau patriarki yang lahir dari penafsiran akan ajaran agama Islam. Salah satunya perihal doktrin 'suara perempuan adalah aurat' yang membuat perempuan tidak boleh bersuara di hadapan orang banyak, terutama menyanyi.

Aku mengagumi semua hal tentang film ini namun menyayangkan ketika banyak sekali tokoh-tokoh perempuan berdaya yang dipasangkan dengan rokok. Hal ini membuat perempuan malah menjadi korban potensial pemasaran industri rokok lengkap dengan bahaya yang mengintainya, karena tanpa disadari film ini dapat menjadi alat yang menjual citra fantasi kebebasan, glamor dan feminisme lewat rokok sehingga bisa saja banyak perempuan-perempuan yang memaksakan dirinya merokok agar mendapat citra feminis. Tapi tidak banyak yang ingin ku bahas terkait itu saat ini, mari kita fokus membahas sisi yang ku kagumi.

Menurutku film ini berhasil memberikan first impression yang “ngena” dan sedikit nakal sehingga membuat film ini sudah berhasil memusatkan perhatian penonton sejak awal. Jika diperhatikan, adegan awal pengambilan video cukup berani yakni dengan menyorot bagian celana dalam dan BH berwarna ungu dari sang tokoh utama saat ia sedang berganti baju mengenakan seragam sekolah lengkap beserta jilbabnya. Pun adegan-adegan tabu lain seperti saat Yuni mengganti pembalut di toilet sekolah, juga saat Yuni berciuman hingga bersenggama dengan tokoh Yoga.

Tokoh utama yang namanya dijadikan judul film itu memang dikisahkan sangat menyukai warna ungu. Ia mengenakan banyak sekali atribut berwarna ungu mulai dari motor, tas, buku, ikat rambut, hingga celana dalam dan BH. Namun kecintaannya itu nampaknya berlebihan bahkan sampai membuat kehidupannya terganggu. Ia murid yang berprestasi, namun seringkali dipanggil ke ruang guru dikarenakan tak bisa menahan diri untuk tidak mengambil barang milik temannya yang berwarna ungu. Teguran demi teguran ia dapatkan namun kecintaannya yang berlebihan pada warna ungu membuatnya sulit mengontrol dirinya sendiri. 

Ketika kita telisik lebih dalam, warna ungu disini merupakan simbol perjuangan perempuan. Sejak abad ke-19, warna ungu memang sudah menjadi warna simbol perjuangan gerakan perempuan. Warna ungu sudah dipakai oleh perempuan-perempuan sejak mereka memperjuangkan hak pilih. Terutama di Amerika Serikat dan Inggris, perempuan menyematkan pita ungu di bajunya saat melakukan aksi demonstrasi. gerakan feminis gelombang kedua pada tahun 1970-an juga mempopulerkan warna ungu sebagai simbol perjuangan perempuan. Kelompok ini memperjuangkan hak perempuan atas tubuh, seksualitas, dan reproduksinya. Dalam psikologi warna, ungu merupakan lambang kecerdasan, kebijaksanaan, semangat, dinamika, keseimbangan, dan spiritualitas.

Jadi warna ungu dipilih karena melambangkan sesuatu yang melampaui tubuh. Dengan menjadikan warna ungu sebagai simbol gerakan perempuan, mereka ingin mengangkat jiwa dan pikiran perempuan. Mereka hendak menyerukan pada dunia bahwa perempuan punya rahim dan otak. Perempuan bukan hanya seputar dapur-sumur-kasur seperti yang banyak dikatakan oleh orang tua kita. Kini ungu telah menjadi simbol perjuangan feminis, simbol kesetaraan perempuan dan laki-laki. Warna ungu sendiri sepertinya memang tepat dijadikan sebagai simbol ini. Coba campurkan warna merah jambu dan warna biru. Hasilnya? Tentu saja ungu. 

Aku melihat ini sebagai satu fenomena yang coba disampaikan oleh penulis, yakni ketika kita berlebihan dalam menyukai atau mengimani sesuatu, itu juga hasilnya tidak akan baik. Contohnya ketika seseorang ‘terlalu feminis’ dalam koridor yang salah, bisa saja ia malah melupakan tujuan kesetaraan, karena perjuangannya malah akan mengarah ke dominasi salah satu gender dan merendahkan yang lain. Itu juga lah yang akan merepotkan diri sendiri karena membuat kesetaraan jadi lebih sulit terjadi.

Mitos-mitos lokal juga banyak disinggung di sini, contohnya mitos mengenai duduk di depan pintu yang dapat menghalangi datangnya jodoh. Nolak lamaran membuat susah dapat jodoh. Nyapu malam-malam dapat membuang rizki dan masih ada beberapa mitos lainnya. Di Kabupaten Tuban, termasuk di desaku, mitos-mitos yang dipercayai juga tak jauh berbeda dari film Yuni yang mengambil setting kehidupan masyarakat di Serang, Banten. Tentu saja mitos-mitos tersebut juga berusaha diwariskan padaku. Dari situ saja film ini mampu membuatku merasa masuk kedalam ceritanya dengan cukup baik. Aku merasa menjadi pemeran utamanya. Selain itu film ini tentunya juga dapat menjadi pengetahuan baru bagi penonton yang lain terkait mitos-mitos di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Bukankah selalu menarik mengetahui hal-hal baru?

Sehubungan dengan mitos itu lahirlah kisah asmara Yuni yang rumit dengan pria-pria yang bergantian melamarnya dengan tiba-tiba tanpa menanyakan persetujuannya. Menganggap bahwa perempuan sama seperti barang dagangan karena penawaran-penawaran yang mereka sampaikan tak jauh-jauh dari uang. Masih kuingat dalam sebuat dialog ada yang menyampaikan “Nanti kalau masih perawan uangnya akan ditambah lagi”. Di sini seolah-olah keperawanan diperjualbelikan. Dan Yuni berhasil menentang semua itu dengan berani dan langkah yang pasti. 

Aku benar-benar tersedot dengan alur cerita yang mulus, penuh kejutan dengan misteri yang dikupas pelan-pelan. Setiap tokoh punya cerita nya masing-masing yang complicated. Mulai dari mbak-mbak yang Yuni temui di gang, lewat ekspresinya seolah-olah ia menyesali kondisinya karena telah nikah dini dan tidak melanjutkan pendidikan. Kemudian ada Suci Cute, seorang pemilik salon yang kini lebih bahagia dengan kondisinya yang menjanda karena dulunya sempat menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan sempat keguguran berkali-kali dikarenakan rahimnya belum siap. Sebuah kondisi real yang memang kerap kali dialami perempuan yang menikah di bawah umur. Kesaksian perempuan yang mengalami kekerasan kemudian tidak dipercayai oleh keluarga juga diceritakan disini. 

Selain itu film ini juga berani mengangkat isu yang sensitif, yakni seputar LGBT. Dikisahkan lewat terungkapnya perilaku crosshijab dari pria yang diidam-idamkan oleh Yuni, yakni bapak gurunya sendiri. Dengan modal relasi kuasa ia berujung melamar Yuni agar ia dapat mengamankan posisinya dan menyenangkan Ibunya. Alasan serupa juga mendasari sosok perempuan berpenampilan tomboi yang merupakan teman kecil Yuni. Ia merahasiakan identitasnya yang sudah jauh dari ekspektasi keluarga namun memilih untuk tetap tinggal didesa yang sama agar dapat terus menjaga ibunya. Kita diajari untuk tidak melihat orang hanya dari covernya. Bahwa yang terlihat buruk nyatanya memiliki niat yang baik dan tulus, bahwa manusia memang tidak ada yang seratus persen sempurna sesuai standar konvensi masyarakat. 

Film ini patut diacungi jempol dan di patenkan sebagai film edukasi karena banyak menampilkan mengenai fakta-fakta ketubuhan, fakta seksualitas dan fakta konflik sosial masyarakat secara jujur dan transparan. Terkait masturbasi perempuan yang kerap kali dianggap tabu dan saru karena dapat merusak keperawanan, padahal nyatanya dalam kacamata medis keperawanan itu tidak ada, karena jika didasarkan pada hymen, selaput tipis itu bisa saja tidak ada sejak lahir atau robek tiba-tiba saat sedang beraktivitas fisik seperti olahraga. Terkait perempuan yang seringkali orgasme palsu dan tidak pernah tau rasanya orgasme karena kenikmatan perempuan (istri) kerapkali dikesampingkan dalam berhubungan seksual. Juga terkait perempuan sebagai istri yang dibebani mengurus anak. Bentuk pengabaian laki-laki yang dinormalisasi diceritakan dengan jelas dan gamblang. Bahkan ironi sebagai perempuan setelah menikah ketika memutuskan tinggal bersama mertua harus mengerjakan ini itu bak pembantu terlepas dari bagaimanapun lemahnya kondisinya. Terkait penggusuran tanah untuk perluasan pabrik yang kerap kali terjadi juga disinggung di film ini.

Terakhir, menurutku yang menarik untuk diulas juga disini adalah mengenai orang tua Yuni yang kerja sebagai TKW diluar negeri. Namun mereka tetap berharap anaknya punya pendidikan yang lebih baik. Mempunyai pekerjaan yang lebih baik daripada mereka dan tidak berputar hanya di pusaran yang sama. Beruntungnya Yuni dikelilingi keluarga yang bukan tipikal kolot dan menyebalkan. Termasuk nenek Yuni yang mentereng dengan rokok dan baju dasternya, dibeberapa adegan memang terlihat mengarahkan Yuni untuk menerima lamaran saja, namun tidak ada paksaan yang berarti karena semua dikembalikan ke Yuni sebagai pemilik otoritas tubuhnya sendiri.

Kehadiran Ibu guru yang suportif mendukung siswi perempuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi semakin melengkapi film ini. Perempuan yang terus menambah kapasitas diri semaksimal mungkin agar kebermanfaatan yang dapat diberikan juga bisa turut maksimal. Itu dapat menjadi contoh bagi kita untuk terus semangat menjadi api ditengah gelapnya patriarki. Karena perempuan bukanlah warga kelas dua yang hanya dapat berada diranah domestik saja. Untuk itu perempuan harus mengawalinya dengan keluar dari kungkungan kegelapan dan keterbelakangan pendidikan, hingga tak lagi dapat ditindas dan diperlakukan semena-mena dengan penuh ketimpangan.

Review ini akan ditutup dengan kekagumanku pada Ibu-ibu penyanyi Rock dengan style kece-nya dan rokok yang menemani penampilannya. Ia berpesan pada Yuni dan tentunya juga kepada kita selaku perempuan "Tetaplah bersuara sebelum suaramu hilang". Perempuan memang kesulitan bersuara dalam cengkraman patriarki. Namun masih ada banyak yang harus disuarakan dan diperjuangkan. Karena suara perempuan bukanlah aurat, jadi jangan takut bersuara!

Tentang Penulis:
Putri Ayu Salsabila, atau yang biasa dipanggil Puput, seorang mahasiswi keperawatan Institut Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama (IIKNU) Tuban semester 5 yang konsen pada isu-isu kekerasan. Ia juga merupakan Ketua Komisariat Persiapan PMII IIKNU Tuban.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close