Warta

Saat Mahasiswa Miskin Dipaksa Menanggung Mahasiswa Miskin Lainnya

Lina Setiani, Ketua PMII Komisariat Imam Puro Purworejo/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Di suatu sore, seorang teman saya yang kuliah di salah satu kampus yang ada di Kabupaten (sebut saja Kabupaten P) ia bercerita dengan suara nyaris tak terdengar. Beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliahnya dipotong oleh pihak kampus. Ia diminta membayar uang tambahan satu juta rupiah. Alasannya? Untuk membantu mahasiswa lain yang tidak mendapat beasiswa. Katanya dana tersebut akan dialokasikan untuk beasiswa kader, beasiswa tahfidz, atau program bantuan lain.

Awalnya saya mengira ia salah paham atau mungkin hanya korban miskomunikasi birokrasi. Namun setelah ditelusuri, ternyata praktik semacam ini terjadi di berbagai kampus. Bukan hanya satu dua orang yang mengalami. Ini bukan kasus langka. Ini pola.

Padahal aturan pemerintah jelas. Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Ristek Nomor 12/E/KPT/2023, mahasiswa penerima KIP Kuliah berhak menerima dana sebesar 6,6 juta rupiah per semester: 2,4 juta untuk biaya pendidikan yang langsung ditransfer ke kampus, dan 4,2 juta untuk biaya hidup yang diberikan ke mahasiswa. Ini bukan bantuan sembarangan. Ini hak. Hak yang diberikan negara kepada mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu agar bisa mengakses pendidikan tinggi. Sekali lagi, ini hak, bukan sedekah.

Namun yang terjadi, justru dana biaya hidup ini dipotong sepihak. Kata kampus, dana itu digunakan untuk “kebaikan bersama.” Istilahnya terdengar mulia. Tapi apakah caranya adil?

Pertanyaan mendasarnya, mengapa mahasiswa yang hidup pas-pasan justru dibebani untuk membantu mahasiswa lain? Bukankah justru kampus dan negara yang memiliki tanggung jawab untuk mengatasi ketimpangan ini? Mengapa mahasiswa miskin dipaksa menyubsidi mahasiswa miskin lainnya? Ini seperti menyuruh orang yang kelaparan membagi nasi bungkusnya kepada orang lain yang sama-sama kelaparan. Niatnya mungkin baik, tapi secara etika dan kebijakan, ini jelas keliru.

Lebih menyakitkan lagi, ketika mahasiswa berusaha bertanya atau mengkritisi, mereka langsung mendapat peringatan. “Hati-hati, beasiswamu bisa dicabut,” begitu bunyi ancamannya. Suara mereka dibungkam. Padahal beasiswa KIP bukan sedekah kampus. Itu dana publik yang harusnya dikelola secara transparan dan akuntabel.

Yang juga perlu digarisbawahi, praktik ini bukan hanya soal pelanggaran prosedur. Ini bentuk eksploitasi yang dibungkus narasi solidaritas. Alih-alih memberdayakan, kampus justru mengambil peran sebagai pengatur takdir, menentukan siapa yang layak dibantu dan siapa yang harus mengalah, tanpa transparansi.

Saya tahu tidak semua kampus melakukan hal ini. Tapi satu saja cukup untuk menunjukkan bahwa ada yang serius keliru dalam sistem. Dan ketika kekeliruan itu dibiarkan, bahkan dilegalkan lewat budaya diam dan rasa takut, maka kampus sudah kehilangan watak dasarnya sebagai tempat untuk berpikir kritis dan menjunjung keadilan.

Mereka yang mendapat beasiswa tidak ingin diberi belas kasihan. Mereka hanya ingin haknya dijaga. Mereka ingin belajar tanpa dibayangi ancaman, tanpa khawatir bahwa suara mereka akan dibungkam karena dianggap “tidak tahu terima kasih.” Mereka hanya ingin kampus benar-benar menjadi rumah belajar, bukan tempat yang secara halus merampas hak hidup mereka, lalu mengemasnya sebagai bentuk pengabdian.

Tulisan ini mungkin dianggap “berlebihan.” Tapi jika diam hanya membuat keadaan makin buruk, maka inilah suara kecil dari kamar pondok yang pengap atau ruang-ruang kos sempit yang disewa dari sisa beasiswa. Suara dari piring-piring kosong yang mulai ragu, besok masih bisa makan atau tidak. Dan suara ini, semestinya tidak dianggap angin lalu.

Penulis: Lina Setiani, Ketua PMII Komisariat Imam Puro Purworejo.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close