![]() |
| Rifkilahil Maulana, Kader PMII Kota Cilegon. [Foto:Aktivis Autentik] |
Namun di saat yang sama, kita pun sering terjebak dalam kemunafikan yang lembut—mengaku memperjuangkan keadilan, tetapi menafsirnya sesuai dengan zona nyaman masing-masing. Kita menuntut kebenaran sejati, tapi sering kali hanya sejauh kebenaran itu tidak mengganggu kepentingan pribadi.
Lalu dengan bahasa ilmiah, kita menuduh mereka pragmatis, seolah diri kita suci dari kepentingan. Kita menyembunyikan nafsu dalam kalimat rasional, menutupi kepentingan di balik istilah "objektivitas." Padahal, sejauh apa pun seseorang berusaha menampilkan diri sebagai intelektual yang netral, selalu ada bisikan batin yang memengaruhi cara berpikir dan bersikap.
Di balik setiap dalil dan argumen, ada ruang batin yang terus bernegosiasi antara idealisme dan kebutuhan, antara nilai dan kelangsungan hidup. Mungkin di sanalah letak paradoks kemanusiaan: kita ingin menjadi benar, tetapi juga ingin diterima; ingin jujur, tapi takut kehilangan posisi.
Bahwa kejujuran intelektual sering kali kalah oleh keinginan untuk tampak benar—itulah tragedi kecil yang terus berulang dalam dunia pemikiran dan tindakan. Sebuah ironi yang tak pernah selesai, karena manusia tidak sepenuhnya rasional, dan mungkin memang tidak harus begitu.
Penulis: Rifkilahil Maulana, Kader PMII Kota Cilegon.
.jpg)
0 Komentar