Warta

Desakan Publik Meningkat, Urgensi Pengesahan RUU PPRT Tak Bisa Ditunda Lagi

Tria Damayanti, Ketua KOPRI PK PMII UNARS Situbondo/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) telah lama menjadi harapan jutaan pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia yang selama ini rentan mengalami diskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi. Namun, setelah lebih dari dua dekade bergulir tanpa kepastian, pengesahan RUU ini masih tertunda, meskipun urgensinya semakin mendesak dan dukungan publik terus menguat.

Data dari Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat lebih dari 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT selama 2021-2024, mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga perdagangan manusia. Kondisi ini menunjukkan betapa rentannya posisi PRT tanpa adanya payung hukum yang jelas dan perlindungan yang memadai. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menegaskan bahwasannya pengesahan RUU PPRT bukan hanya kewajiban konstitusional, tetapi juga langkah krusial untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam instrumen HAM internasional. Sekitar 4,2 juta PRT, mayoritas perempuan dan kelompok rentan, membutuhkan kepastian hukum dan perlindungan yang selama ini belum pernah mereka dapatkan.

Desakan ini juga datang dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk Komnas Perempuan, yang menilai RUU PPRT penting untuk melindungi hak-hak PRT sekaligus menjaga harkat dan martabat mereka sebagai pekerja yang sah, bukan sekadar "pembantu". Pengesahan RUU ini juga memberi kepastian bagi pemberi kerja melalui kontrak kerja tertulis yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Penundaan pengesahan RUU PPRT bukan hanya mengabaikan kebutuhan dasar jutaan PRT, tetapi juga mengabaikan prinsip keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia. Kondisi ini memicu aksi dan protes dari masyarakat sipil yang menuntut DPR segera mengambil langkah tegas tanpa alasan penundaan, terutama menjelang tahun politik yang rawan menggeser fokus legislasi.

Dengan segala fakta dan desakan yang ada, pengesahan RUU PPRT bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Ini adalah kesempatan bagi DPR dan pemerintah untuk membuktikan komitmen mereka dalam melindungi kelompok pekerja yang selama ini terpinggirkan dan rentan. Kegagalan mengesahkan RUU ini akan berimplikasi pada berlanjutnya ketidakadilan dan kerentanan jutaan pekerja rumah tangga di Indonesia.

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) dirancang untuk secara signifikan mengurangi risiko diskriminasi dan eksploitasi terhadap pekerja rumah tangga (PRT) melalui beberapa poin mekanisme sebagai berikut: 

Pengakuan Status, Hak PRT, dan Kontrak Kerja Tertulis dalam Pengaturan Jam Kerja 

  1. RUU PPRT secara eksplisit mengakui PRT sebagai pekerja yang berhak atas perlindungan hukum, upah layak, jam kerja wajar, dan hak-hak dasar lainnya. Pengakuan ini penting untuk menghapus diskriminasi yang selama ini terjadi karena PRT tidak dianggap sebagai pekerja formal
  2. Dengan pengakuan ini, PRT mendapatkan posisi tawar yang lebih kuat dalam relasi kerja, sehingga mengurangi potensi perlakuan sewenang-wenang, bias gender, kelas, atau ras
  3. Kontrak tertulis ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum, sehingga mengurangi risiko eksploitasi seperti yang disebutkan pada poin (a) jam kerja berlebihan, upah tidak layak, atau pemutusan kerja sepihak tanpa alasan jelas

Jaminan Sosial dan Perlindungan Kesehatan

  1. RUU PPRT mengatur agar PRT mendapatkan akses pada jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, sehingga mereka terlindungi jika sakit, mengalami kecelakaan kerja, atau memasuki masa pensiun
  2. Hal ini menutup celah eksploitasi di mana PRT tidak mendapatkan hak dasar perlindungan sosial yang layak.

Standar Upah dan Kondisi Kerja

  1. RUU PPRT mengatur standar minimum upah, waktu kerja, dan hak atas hari libur, sehingga PRT tidak lagi bekerja tanpa batas waktu atau tanpa upah yang layak
  2. Perlindungan ini juga mencakup hak atas waktu istirahat dan hari libur mingguan, yang sebelumnya sering diabaikan

Mekanisme Pengawasan dan Penyelesaian Sengketa

  1. RUU PPRT mendorong pembentukan lembaga pengawasan khusus serta mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa, sehingga PRT memiliki saluran resmi untuk melaporkan pelanggaran dan mendapatkan keadilan
  2. Pengawasan juga diarahkan pada agen penyalur PRT untuk mencegah praktik perdagangan manusia dan perbudakan modern

Mencegah Kekerasan dan Pelecehan

  1. RUU PPRT secara tegas bertujuan mencegah segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan perbudakan terhadap PRT, baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi
  2. Dengan adanya perlindungan hukum yang kuat, pelaku kekerasan atau eksploitasi dapat ditindak secara tegas.

Meningkatkan Profesionalisme dan Kesejahteraan

  1. Dengan perlindungan hukum dan hak yang jelas, PRT dapat bekerja lebih profesional dan sejahtera, sementara pemberi kerja juga mendapatkan kepastian hukum dalam hubungan kerja

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus disahkan karena memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang sangat dibutuhkan bagi pekerja rumah tangga (PRT) yang selama ini rentan mengalami diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan dalam lingkungan kerja domestik yang privat dan minim pengawasan.

Selain itu, pengesahan RUU PPRT juga menjadi langkah strategis untuk menata sistem ekonomi perawatan nasional, mengatasi ketimpangan gender, dan memperkuat fondasi ekonomi yang inklusif serta berkelanjutan.

Dengan disahkannya regulasi ini, maka akan mengurangi risiko diskriminasi dan eksploitasi dengan memberikan pengakuan formal, kontrak kerja tertulis, perlindungan sosial, standar upah dan jam kerja, serta mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang jelas bagi pekerja rumah tangga di Indonesia.

Penulis: Tria Damayanti, Ketua KOPRI PK PMII UNARS Situbondo.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close