Warta

Ucapan adalah Doa

Mendung bergelayut menggantung di atas aula, angin berderu dan merembes di setiap sisi pepohonan bambu yang tinggi menjulang, semuanya oleng mengikuti ke mana perginya si angin.

“Bocah kemplung!” umpat seorang kiai di sela-sela tidurnya. Sementara masih di dalam aula, seorang santri merasa gembira dengan apa yang baru saja ia kerjakan.

“Alhamdulillah, surat balasan untuk dek Asiyah selesai…”

Keesokan paginya, matahari mulai menggantungkan dirinya di langit, baru saja burung-burung gereja yang ada di atas genting pondok, mengepakkan sayapnya untuk pergi. Merasa bosan apa yang selalu mereka makan, saat malam hari tiba, kiai selalu menaruh perintilan jagung di atas genting pondoknya, mungkin mereka para burung ingin menu makanan terbaru.

“Dasar burung kufur, sudah dikasih malah tidak tahu terima kasih. Kalau aku yang diberi itu oleh kiai, aku akan memakannya sampai titik darah penghabisan!” celetuk Sulaiman kesal saat mendongak keatas genting. Dari kejauhan, kiai Zakaria hanya tersenyum mendengar ocehan santrinya itu.

“Jangan meledek…” ucap kiai sambil melempar sandal gapyak di atas tanah tandus berwarna merah, lalu memakainya.

Nggih kiai, hampura kiai.” Sulaiman menundukkan pandangannya, merasa ucapannya barusan adalah malapetaka bagi dirinya jika berhadapan dengan salah satu kiai mantap ini. Kiai Zakaria pun mendekat kearah Sulaiman kemudian menepuk bahunya.

“Nanti kita belikan pizza buat si burung,” kata kiai berguyon, membuat Fathur dan Rauf yang berada di belakang Sulaiman tertawa nyamput, Sulaiman pun ikut terkekeh.

“PAK KIAI… PAK KIAI…” seru seorang santri yang tiba-tiba hadir dengan gelagapan.

“Ada apa Agus?” Tanya kiai santai.

“Itu kiai, itu…”

“Tenang Gus, bicara tenang. Alon-alon asal kelakon…” ucap Fathur ikut menimbrung.

“Si Badrul kesurupan setan alas, kiai!” jelas Agus membuat kiai dan yang lain resah.

Mereka semua langsung pergi ke surau, perjalanan yang cukup singkat. Namun semakin mempercepat langkah semakin membuat hati menjadi tambah risau. Di perjalanan singkat itu Fathur merasa jika dirinya sedang diawasi, sedangkan Rauf merasa bergidik ketika ia melihat kain putih yang di apit diantara sekumpulan pohon bambu, bukan hantu atau sejenisnya tapi itu adalah ulah santri nakal yang sengaja memasangnya di sana untuk menakut-nakuti santri yang lainnya.

 Mereka akhirnya sampai di halaman yang cukup luas dan banyak dihiasi pepohonan pucuk merah itu, kiai menatap ke arah pintu. Beberapa saat kemudian terdengar suara tawa menggelegar  dari dalam aula pondok.

BRAK!

Pintu aula dibuka dengan sangat kencang, Badrul keluar dengan memakai baju almamater dan sarung yang rapih juga di tambah gaya berjalannya yang lumayan gagah dan tak lupa setangkai bunga mawar berwarna putih, ia sedari tadi memejamkan mata. Saat ia membuka matanya, badrul sangat tidak menyangka.

“Astaghfirullah… Nauzubillah… Allahuakbar… AGUS!!! Kenapa kiai yang datang…” secepat kilat dirinya melompat ingin masuk kembali kedalam aula melewati celah jendela, padahal baru saja ia membuka pintu dengan sangat lebar. Akan tetapi tubuhnya berkata tidak merestui untuk bisa memasuki jendela tersebut di karenakan ukuran yang tidak mencukupi. Ia terjepit disana.

Hampura kiai. ya Allah, maafkanlah hambamu ini...” ucap Badrul memelas, kini ia berdiri dengan satu kaki terangkat ke atas dan bahu yang di bebani bambu panjang. Badrul akan terbebas dari hukumannya sekitar dua jam lagi menjelang dzuhur. Sangat malu baginya menerima hukuman seperti ini apalagi berdiri si tengah-tengah perbatasan santri putri dan putra.

“Kang Sule!” Panggil seseorang di balik pintu kelas. Sulaiman sering di panggil akrab dengan nama Sule, ia adalah seorang senior yang popular di kalangan para santri, semua orang di sana sangat kenal dengan pemuda tampan tersebut, putih bersih seakan baru saja di lahirkan dan ilmu yang menghiasi dirinya juga semakin menambah ketampanan dan kesalehannya. Jika ia sudah memasuki daerah khusus santri putri, semua mata pasti tertuju padanya.

“Iya, ada apa ‘Asiyah?” kata Sulaiman sambil bergegas mendekat kearah ‘Asiyah berada. ‘Asiyah adalah adik kelasnya, ia duduk di kelas sebelas sedangkan Sulaiman berada di kelas duabelas.

“Kang, kok kang Badrul bisa di hukum sih?…” tanyanya sambil memasang tampang bocah.

“Itu sih gara-gara dia yang terlalu terobsesi sama kamu, dan kamu nya yang gak peka sama perasaannya si Badrul. Kamu teh kenapa? Belum bisa menerima si Badrul? Atau ada seseorang yang kamu sukai? Jujur aja sama saya teh…” bujuknya halus.

“Kalau saya jujur, takut kang Sule marah.”

“Udah jujur aja, semuanya biar jelas. Kasihan atu si badrulnya.”

“Asiyah sukanya sama kang Sule bukan sama kang Badrul. Sebenarnya surat yang waktu itu bukan buat kang Badrul tapi buat kang Sule, Maria salah kasih.” ‘Asiyah menyenggol bahu Maria yang berada di sebelahnya.

Hampura kang…” ucap Maria sambil menunduk.

Sulaiman mengambil napas panjang dan sangat berat, ia mengulum bibirnya cuek.

“Maaf dek, tapi kang Sule nggak ada perasaan untuk dek Asiyah. Lagian kita masih dalam proses belajar. Gak baik untuk pacaran atau semacamnya karena takut mengganggu. Kang Sule minta maaf…” Sulaiman pun pergi meninggalkan Asiyah yang terlalu berharap kepadanya. ‘Asiyah menangis tersedu-sedu di pelukan maria, sebelumnya tidak pernah ada lelaki yang tidak mau dengannya, bisa di katakan cantiknya Asiyah tak ada bandingannya di asrama putri, dan baru kali ini seorang pria yang sama selaras dengannya, menolaknya dengan sangat halus.

****

Malam begitu terlalu cepat datang di daerah Semarang, langit turut mengundang bulan dan bintang untuk hadir menerangi alam semesta. Termasuk pondok pesantren yang terdapat di tengah-tengah hutan itu, tempat seseorang menemukan jati dirinya, tempat untuk memperdalam ilmu dunia dan juga akhirat, tempat yang sealu melahirkan generasi berakhlakul karimah di zaman yang sudah mulai oleng dengan kemarakan bidang teknologi yang terkadang membuat kebodohan merajalela ini.

Ustadz Abi mengumumkan sebuah pengumuman tentang akan diadakannya lomba bagi para penghafal Alquran. Termasuk Sulaiman, setelah pengumuman tersebut selesai diumumkan, Sulaiman langsung dipanggil oleh kiai di kantor.

“Ada apa kiai memanggil saya?” Tanya Sulaiman yang sudah duduk dihadapan kiai.

Kiai menyeruput sebuah kopi hitam asli dari perkebunan pondok mereka sendiri, semua santri diajarkan cara bercocok tanam, cara menanam bibit sayur mayur dan buah-buahan. Setelah selesai meneguk beberapa tegukan, kiai menyodorkan gelasnya ke arah Sulaiman.

“Minumlah dulu, kopi ini walau sepahit apapun pasti manis. Cobalah… ini berkah untukmu…”

“Syukron kiai.” Sulaiman langsung menenguk kopi pahit itu, matanya seketika terbelalak.

“Bagaimana? Manis bukan? Ayo dihabiskan.”

Setelah acara meminum kopi selesai kiai pun mulai membuka suara serak basahnya.

“Apa kau tahu apa makna dari kopi hitam dan rasa manis tersebut?” Tanya kiai, Sulaiman hanya menggeleng.

“Kau melihat dunia yang penuh dengan kebohongan, kemunafikan, kedustaan, kemusyrikan, dan sebagainya yang bersifat buruk, kau tak mau membiarkan itu semua merusak rasa manis yang aku tawarkan kepadamu jadi kau menyelami lautan yang penuh kenistaan itu dengan sabar maka kau akan mendapati rasa manis yang ku berikan kepadamu, ah sudahlah aku tak pandai berkata-kata…” guyonnya di sela nasihatnya.

“Langsung saja pada intinya, kau pasti mendengarkan pengumuman yang telah disampaikan ustadz Abi di aula bukan?”

Nggih kiai…”

“Kamu masih ada satu juz lagi yang harus disetorkan padaku, lombanya lumayan Sule. Kiai ingin kamu menjadi bagian dari kakak kelasmu yang sudah berangkat ke Mesir.”

“Insya Allah kiai, Allah selalu tahu yang terbaik buat hambanya.”

Setelah bercakap-cakap dengan kiai, Sulaiman langsung pulang dengan membawa oleh-oleh sekantong plastik kacang rebus dari kiai.

Dalam perjalanan pulang, Sulaiman merasa ada yang tidak beres dengan sekitarnya. angin malam makin berhembus kencang, sulaiman tak henti-henti untuk membaca asma Allah. Diliriknya kiri kanan tapi hasilnya tak ada apa-apa, saat ia melangkah pelan, saat itu ia bisa menemukan kejanggalan pada sebuah pohon bambu yang ada di samping kirinya.

“Hayooo… lagi ngapain kalian? Pasti lagi nebang bambu kan?” Sulaiman mengagetkan teman-temannya yang sedang menebang pohon bambu untuk diambil bagian dalamnya. Diantaranya ada Fathur, Badrul, dan Rauf.

“Kami sangat kelaparan Sule…” kata Rauf melas.

“Iya…” Badrul menambahi.

“Alhamdulillah aku ada sedikit rezeki, tadi kiai kasih kacang rebus ini.” Sulaiman menyodorkan katong platik merah itu ke arah tiga bocah itu.

“Alhamdulillah… ini teh rezeki banget euy. Ayo kita pulang.” Ajak Badrul.

“Yuk, makannya dimana?” Tanya Rauf saat mulai melangkahkan kaki bersama.

“Di atas genting, yang penting cuma kita berlima yang tahu…” ucap Sulaiman.

“Hah, kok berlima?” kata Fathur membelalakkan matanya.

“Yang satunya Allah.” Jelas Sulaiman sambil tersenyum, Mereka hanya mengangguk-angguk.  

****

“HEH, BANGUN BOCAH-BOCAH KEMPLUNGGG!...” teriak Ustadz Fairuz menggunakan toak. Saat ia menyadari bahwa di atas genting ada santri yang sedang tidur, ia langsung bergegas mengambil toak. Mereka adalah Sulaiman, Fathur, Badrul, dan Rauf. Semalam sehabis pesta kacang, mereka tidak sengaja tertidur di sana.

“Subuh, bangun…” seru lagi Ustadz Fairuz meneriaki mereka yang tak kunjung bangun.

“Awas yah kalian…” Ustadz Fairuz menyuruh seorang santri untuk menyanggakan tangga di genting pondok dan menyuruh seorang lagi untuk membawa ember berisi air gunung yang sangat dingin.

BYURRR

Keempat bocah tersebut langsung basah kuyup setelah Ustadz Fairuz menyeburnya dengan air yang tadi ia dapat. Lalu memukul mereka satu persatu dengan sebilah bambu kecil.

“Bangun, bangun, bangun, bangun…!”

Mereka akhirnya tersadar ketika air yang sangat dingin itu merembes ke dalam sarung dan bajunya masing-masing, dan pukulan bambu yang amat pedih mengenai betis mereka berempat.

“Ah, aduh ampun Ustadz…” pekik Badrul yang masih menerima pukulan.

“Cepat ambil wudhu, tawadho’na awalan AL’AN!” mereka langsung bergegas melompat dari atas genting yang lumayan agak tinggi itu, dan langsung menuju tempat wudhu aula.

Pagi memancarkan sinarnya, suara jangkrik masih terdengar di telinga para santri. Entah kenapa semua santri putra berlarian ke arah samping gerbang pondok.

“Ada apa sih?” Tanya Badrul heran pada salah satu anak santri yang juga ikut berlari.

“Ada santri pendatang, mereka dari berbagai pondok. Kan sekarang lomba tahfiz.” Ucap anak itu terburu-buru sambil melanjutkan acara berlarinya yang dianggap Fathur seperti terlalu arogan dengan kedatangan santri dari berbagai pondok tersebut.

“Pokoknya kali ini aku harus dapat!” ucap Rauf, membuat teman-temannya kebingungan dengan apa yang barusan ia katakan.

“Dapat apa?” Tanya Sulaiman.

“Dapat gebetan dong.” Mereka bertiga menepuk dahi masing-masing mendengar ucapan Rauf barusan.

Niat Rauf menggebet salah satu santri tidak jadi di karenakan mereka berempat di panggil oleh ustadz Abi, beliau menyuruh mereka membereskan karpet yang ada di aula untuk menyambut para santri dari berbagai pondok tersebut. Rauf berjalan dengan sangat lamban, sedangkan ketiga temannya menggeleng-gelengkan kepala seraya meledek Rauf yang rencananya batal.

“Apa! Mereka disini selama enam hari…” ucap Sobur terkejut dengan penjelasan yang di beri ustadz Fairuz.

“Asik, masih ada kesempatan dong.” Perkataan Rauf langsung disabet dengan siku Sulaiman, lengannya kesakitan dan langsung membalas dengan mengambil peci kesayangan Sulaiman.

“Hei kembalikan Rauf…” kata Sulaiman cemas sambil memegangi rambutnya yang cepak dan sangat bagus itu.

“Kamu  duluan yang mulai,” Ucap Rauf berlarian kearah luar aula.

“Maaf Rauf… sini kembalikan peci saya.” Serunya, Rauf tak mendengar dengan jelas di karenakan ia sudah agak jauh dari Sulaiman.

BRUK

Rauf tertabrak seseorang dari depan ketika pandangannya oleng ke belakang karena mengawasi Sulaiman. Sulaiman langsung buru-buru membangunkan Rauf yang agak tersungkur di atas tanah.

“Sorry…” ucap seorang santriwati sambil berlalu menuju aula.

“Hah, Cuma itu doang…”

“Kan si mas yang tabrak, bukan saya. Seharusnya situ yang minta maaf.” Jelas Zahira santriwati dari pondok pesantren di malang itu. Begitulah sifat Rauf, meskipun dirinya yang bersalah selalu saja tak mau mengakui kesalahannya dan menuduh bahwa orang yang berurusan dengan dialah yang bermasalah.

“Dasar, wadon edan!” celetuk Rauf asal, Zahira menghentikan langkahnya ia pun berbalik lagi dan malah mendekat ke arah dimana Sulaiman berdiri.

“Bilang sama kawanmu itu, kalau aku ndak edan, alhamdulillah masih waras dan masih terpilih oleh Allah untuk menjadi hafiz yang berguna bagi bangsa dan Negara…” ucapnya seolah-olah merendahkan kedudukan Rauf di pondok ini sebagai ketua asrama. Zahira pun berlalu meninggalkan Sulaiman yang sekarang garuk kepala karena tidak mengerti apa yang dijelaskan oleh wanita berjilbab semampai itu dan Rauf yang ingin meluapkan amarahnya.

Cah edan! Suombong tenan, tak sumpahi kamu jadi jodohnya Sulaiman biar mulutmu di lem sama ketampanan dan kesalehan sohibku ini…!” seru Rauf, membuat Sulaiman tercengang dengan perkataannya barusan.

“Maksud kamu apa toh…” kata Sulaiman risau, ia memasang wajah cemberut lalu pergi begitu saja meninggalkan Rauf yang bingung dengan apa yang terjadi.

 “Yah malah ngambek, kan ini juga buat kebaikan dia sebagai jomblo akut.” Oceh Rauf yang selalu merasa paling benar. “dua-duanya cah edan!”

Badrul menemukan Sulaiman menangis saat ia keluar dari arah dapur.

“Kamu kenapa toh? Lelaki kok menangis.” Kata Badrul.

“Saya habis potongin bawang merah, bantu si emak dapur bikin nasi goreng spesial buat tamu kita.”

“Oh, siang ini kamu ada kerjaan ndak?”

“Nggak ada kayaknya, emang kenapa?”

“Aku mau nderes, bantuin sohibmu ini yah Sule…” bujuknya, Sulaiman tersenyum mengangguk tanda dia mau.

Setelah acara pembukaan lomba di aula selesai, Badrul dan Sulaiman mulai memasuki ruangan aula yang cukup luas itu, aula itu biasa dijadikan untuk tempat sholat santri putra maupun putri, untuk nderes, untuk sorogan, untuk tasmi’, dan lain-lain.

Mereka masih mempunyai wudhu semenjak pagi, Badrul dan Sulaiman terduduk. Ketika ingin memulai ta’awudz, terdengar suara samar-samar  dari balik hijab. Lantunan merdu suara ayat Alquran itu sangatlah kental dan faseh, Badrul dan Sulaiman mendekatkan daun telinganya ke arah kain hijab.

“Jangan jadi stalker, kalau mau ngaji yah ngaji aja. Monggo, saya nggak mau jadi penghalang bagi kalian…” Badrul dan Sulaiman yang mendengar teguran tersebut sangat terkejut, mereka berlarian kearah tempat wudhu.

Zahira menyudahi bacaannya, ia menaruh Alquran miliknya di lemari yang ada disana, ia pergi keluar aula tanpa menyadari bahwa ada dua kepala yang mendongak dari tempat wudhu. Sulaiman merasakan ada getaran di hatinya, entah perasaan apa itu. Sampai-sampai si Badrul bisa mendengar suara detak jantung sulaiman yang berdesir.

“Kamu kenapa toh?” Tanya Badrul tiba-tiba.

“ah, apa… ndak kenapa-kenapa kok.” Ucap sulaiman terbata.

Angin kecil meniup di kala malam tiba, malam ini Sulaiman mendapat giliran masak bersama Agung di dapur. Sedangkan untuk santri putri, giliran Sumi dan Asiyah. Suara hiruk piruk ongsengan nasi goreng membuat suasana di dapur menjadi seperti di pasar.

“Kecapnya kurang, garamnya juga, kang Agung… tolong ambilkan masako di dalam lemari. Kang Sule potongin bawang merah, nanti kalau sudah, tolong kasih ke si Asiyah, biar ditumis.”

“Kok nggak ada emak dapur sih? Kan jadi ribet.” Celoteh Agung sambil memberikan masako kepada Sumi.

“Sudah jangan ngedumel aja,” kata Sulaiman sambil menangis karena perihnya bawang yang ia potong. selesai memotong bawang, ia langsung memberinya pada Asiyah, Asiyah menerima potongan bawang tersebut dengan sangat geram, ia masih tidak percaya dengan kenyataan yang sebenarnya bahwa Sulaiman dengan sangat tega menolak cintanya

Setelah acara masak memasak selesai kini giliran Ibnu, Aji, Laras, dan Ningrum yang masuk ke dapur untuk menyajikan makanan kepada tamu santri.

Sulaiman pergi ke kamarnya, ia ingin memuroja’ah hafalan 30 juznya. Saat ia sedang muraja’ah di surat al-kahfi. Tiba-tiba saja perutnya sakit melilit, minta untuk segera buang hajat. Dengan sangat terbirit-birit, ia lari menuju kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, ia sudah selesai. Sulaiman memegangi perutnya yang sudah kempes, ia membuka kenop pintu kamarnya dengan perlahan. Saat dirinya sudah memasuki kamar, alangkah terkejutnya ia ketika mendapati ada seorang wanita yang sedang ingin membuka pakaian di dalam kamarnya.

“ASTAGHFIRULLAH…!!!” Sulaiman memekik sambil berbalik badan.

“HAH! SIAPA KAMU?... TOLONG!!!” Zahira tak kalah suara.

Saat Sulaiman ingin membuka pintu, hasilnya nihil. Mereka berdua terkunci di dalam kamar Sulaiman.

“Tenang, tenang… saya tidak akan apa-apakan kamu,” ucap Sulaiman menenangkan.

“Tenang bagaimana? Kamu sudah lancang masuk ke kamar ini…” ucap Zahira agak gelisah.

“Loh… yang harusnya mengomel tuh saya toh, ini kan kamar saya…” ucapan Sulaiman membuat Zahira terlonjak.

“Apa? kamar sampeyan… hahaha,” Zahira malah cengingisan.

“Loh kalo ndak percaya silahkan lihat poster nama yang ada di belakangmu itu, di situ tertulis Sulaiman Arifudin dan Badrul Allamsyah.” Zahira mengecek apa yang diucap Sulaiman, ia benar-benar sangat tidak menyangka, Ternyata kamar itu milik Sulaiman.

“Maaf, tapi wallahi saya tidak tahu sama sekali jika ini kamar kamu, saya hanya ingin beristirahat sejenak, saya nyasar entah kemana, tiba-tiba saya ketemu dengan cowok yang namanya Badrul, ia menunjukan kalau ini adalah kamar yang sudah tidak terpakai lagi dan bisa untuk beristirahat.” Sulaiman menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Zahira menyebutkan nama Badrul.

“Pasti ini kerjaannya si bocah kemplung itu… awas kau Badrul.” Setelah itu hening menekam di antara mereka berdua tak ada yang bisa memulai bicara atau sekedar bergerak sedikit pun. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tetapi Badrul tak kunjung membukakan pintu untuknya. Jika didobrak, maka akan menimbulkan suara yang bisa membuat para santri lainnya merasa terganggu. Jadi, Sulaiman menyarankan agar Zahira tidur di kasurnya sedangkan ia di lantai yang beralaskan semen dingin.

Keesokan harinya terdengar kegaduhan yang berasal dari kamar Sulaiman dan Badrul.

“Hampura kiai… kami gak melakukan zina sama sekali…” ucap Zahira sambil menangis terisak, Ketika kiai pondoknya menemukannya tidur sekamar dengan Sulaiman.

Mereka berdua diarak menuju halaman aula yang luas, semua mata tertuju pada mereka berdua yang tidak bersalah apa-apa.

“Kiai kecewa sama kamu ndok… kecewa sekali, kenapa kamu melakukan perbuatan keji seperti itu…” ucap kiai Amir, pengurus pondok pesantren yang Zahira tempati.

Sedangkan kiai Zakaria hanya tertunduk sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, ia tak menyangka jika anak yang selalu dibanggakannya selama ini melakukan hal yang sudah jelas dilarang oleh agama, padahal di dalam al-qur’an tertulis jelas ada ayat yang menerangkan tentang dilarang untuk berbuat zina.

Saat hukuman sabet dengan rotan sebanyak seratus kali ingin dilayangkan, Badrul maju ke tengah-tengah mereka berdua.

Hampura kiai, sebelumnya saya sangat-sangat minta maaf.” Kiai memerintahkan sobur, yang bertugas menjadi algojo untuk menahan rotannya.

“Cerita yang sebenarnya adalah begini… saat Zahira kebingungan mencari kamar untuk istirahat, saya bingung harus bagaimana… jika saya antarkan dia ke asrama putri yang terlalu jauh dari tempat nya nyasar, maka saya akan ketinggalan tontonan bola saya, kiai…” seluruh santri yang melihat langsung menyoraki Badrul, tapi kiai mengangkat tangan kanannya tanda jangan berisik. Badrul pun melanjutkan. “Jadi saya terpaksa membawanya ke kamar saya dan berbohong telah mengatakan jika itu adalah kamar yang suka dipakai istirahat, dan saya tidak kepikiran bahwa si Sulaiman masuk ke dalam kamar itu. Dan mereka terkunci disana pasti karena kenopnya error, kiai.” Jelasnya panjang lebar membuat Sulaiman dan Zahira lega.

“Baiklah, hukuman rotan kalian berdua akan saya cabut dan sebagai gantinya Badrul. kau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah kau perbuat sampai-sampai teman-temanmu menjadi korban. Kesalahan pertamamu, kau menonton bola tanpa izin. Kedua, kamu berani berbohong… jadi hukumanmu adalah harus mengkhatamkan hafalan 30 juz dalam satu malam, mengerti?” kata kiai panjang lebar.

Nggih kiai… hampura sekali lagi.”  Badrul menurut.

“Nak Sulaiman...” tegur kiai Amir lembut.

“Nggih kiai…”

“Jujur sama kiai, apakah kamu sudah melihat tubuh dan rambut Zahira?” Pertanyaan tersebut membuat Zahira tertunduk malu.

“Nggih kiai, tapi saya tidak sengaja melihatnya. Kalau saya disuruh mempertanggungjawabkannya, saya siap untuk menikahi Zahira!”

Zahira mendongakkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sulaiman barusan. Kiai Amir mengangguk-angguk.

“Zahira… apakah kamu siap menerima Sulaiman menjadi calon imammu?” Tanya kiai.

Zahira mengangguk pertanda kalau ia menerima Sulaiman menjadi calon imamnya.

“Badrul, tolong telefon orangtua Sulaiman agar datang setelah dzuhur. Indri, tolong beritahu orangtua Zahira agar datang setelah dzuhur,” Badrul dan Indri segera bergegas pergi ke dalam kantor yang terdapat telefon rumah untuk menghubungi orangtua kedua mempelai.

Saat mereka berdua tiba di dalam kantor, mereka berebut telefon.

“Saya dulu!” seru Indri.

“Heeh… saya yang harusnya duluan!” seru Badrul tak mau kalah, keduanya saling menggenggam telefon tersebut.

Tiba-tiba ustadz Abi datang entah dari mana untuk memisahkan mereka berdua, beliau merebut telefon dari tangan keduanya, lalu menelefon kedua orangtua Sulaiman dan Zahira.

“Awas loh, ntar ada setan yang suka menggoda manusia untuk berbuat zina…” kata ustadz Abi menakut-nakuti mereka agar tidar lanjut berseteru.

“Kalaupun ada, jika setan itu menyuruh saya untuk berbuat zina saya tidak akan mengambil kesempatan itu, yang akan saya ambil adalah kesempatan untuk bisa meminang dek Indri.” Ucap Badrul sambil cekikikan. Indri tidak ambil diam, ia langsung mementung kepala Badrul dengan kemoceng yang tergantung di tembok.

“Dasar playboy, tukang omong… rasain tuh.” Indri menyumpahi.

****

“Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak saya Zahira dengan mas kawin seperangkat alat sholat di bayar tunai… sah?”

“SAH…” seru ribuan santri pendatang dan santri dari pondok Sulaiman sendiri.

“SAH… SAH… pokoke SAH!!!” seru Badrul, Rauf, dan Fathur sangat antusias secara berbarengan.

Saat bersalam-salaman pun mereka bertiga ada di samping Sulaiman dan Zahira, kesempatan untuk bersalaman dengan santriwati pendatang, Rauf agak mendekatkan mulutnya ke arah Zahira dan Sulaiman.

“Wah sumpahku ternyata di ijabah sama Gusti Allah, kalian harus bersyukur mempunyai sohib seperti aku toh, jika waktu itu kamu ndak menyikut lenganku sampai sakit, mungkin kau masih dalam kategori jomblo akut Sule!…” kata Rauf sambil tertawa cengengesan.

Tidak ada panggung megah, yang ada hanya aula. Tidak ada orang-orang seperti pejabat atau artis yang menghadiri, yang ada ribuan para santri. Tidak ada makanan sensasi bintang lima, yang ada hanya masakan emak dapur yang mendadak. Tidak ada hiburan marawis atau semacamnya, yang ada hanya guyonan dari ketiga sahabat Sulaiman untuk menghibur para santri, Rauf dengan suara muratalnya yang sangat merdu. Badrul dengan stand up komedinya yang asal ada. Dan Fathur dengan lantunan shalawat yang menyentuh kalbu para kaum hawa.

Setelah acara pernikahan Sulaiman dengan Zahira selesai, lomba tahfiz quran langsung diadakan malam harinya. Kedua pengantin baru tersebut pun langsung mengikuti lomba tersebut.

Tak terasa sudah di penghujung enam hari, semua santri pendatang harus meninggalkan pondok pesantren Semarang. Tiba saatnya pengumuman, semuanya berkumpul di aula, untuk melihat nama-nama yang lulus seleksi yang akan di kirim ke berbagai negara.

“Alhadulilah, terimakasih ya Allah…” Rauf bersujud di lantai ketika dirinya masuk dalam daftar untuk melanjutkan study di Madinah. Begitupun dengan Badrul di Turki dan Fathur yang sama dengan Badrul.

Zahira berlari menuju papan pengumuman bersama Sulaiman, alangkah terkejut keduanya ketika mendapati tujuan Negara yang sama yaitu Mesir.

“Alhamdulillah dek,” ucap Sulaiman seraya memeluk Zahira.

“Iya Alhamdulillah…” Zahira membalas pelukan Sulaiman dengan sangat erat.

“Ehem, duh kok saya jadi iri toh…” ledek Fathur.

“Iya… rasanya jadi pengen dipeluk juga deh,” kata Badrul seraya memeluk Rauf yang ada di sampingnya.

“Eh tak bogem, kamu Badrul… lepaskan!” seru Rauf sambil menginjak kaki Badrul, Badrul langsung meringis kesakitan.

Sulaiman, Zahira, dan Fathur tertawa lepas, tiba-tiba kiai Zakaria hadir di tengah-tengah mereka. Berbicara mengenai jalur beasiswa tersebut, dan tentunya ia sangat bangga para santrinya bisa terdaftar di beberapa universitas luar negri.

-END-

  1. nderes:   merupakan rutinitas santri dalam rangka menjaga hafalan dengan cara mengulang-ngulang hafalan secara lisan di waktu-waktu tertentu.
  2. sorogan:  sistem pengajian yang disampaikan kepada murid-murid secara individual.
  3. tasmi’:   pembelajaran al-qur’an yang dilakukan santri dan diamati serta dicek oleh ustadz.

Penulis: Salsabil Dhiya al Azzah
Rayon Tarbiyah Universitas Al Khairiyah

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close