Warta

Pancasila: Bersuara Lalu Dibungkam Mungkin Sila Kedua Perlu Cuti

Faisal Hidayat, Kader PMII Rayon Hukum Universitas Mulawarman/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Delapan puluh tahun telah berlalu sejak Bung Karno berpidato di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1 Juni 1945. Di tengah suasana penjajahan yang menggoreskan luka dan harapan dalam satu tarikan napas, ia menggali dari kedalaman tanah dan jiwa Nusantara satu pusaka nilai yang disarikan menjadi Pancasila.

Namun tepat di tengah gegap gempita 8 dekade peringatan Hari Lahir Pancasila, publik justru disuguhi ironi: seorang mahasiswa ITB menjadi sasaran intimidasi dan ancaman hanya karena menggambar Jokowi dan Prabowo sedang berciuman sebuah karya satire yang segera viral dan memantik perdebatan.

Di satu sisi, karya itu dianggap tidak etis, tidak sopan, melanggar norma, bahkan oleh sebagian pihak dinilai menghina simbol negara. Namun di sisi lain, kita mesti bertanya lebih jujur: apakah etika itu mutlak, atau sedang dipakai sebagai alat sensor? Apakah sopan santun boleh berdiri di atas hak warga negara untuk mengemukakan pikiran?

Sila ke-2 Pancasila berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Namun dalam praktiknya, keadaban yang dimaksud sering kali direduksi menjadi standar kesopanan sempit versi penguasa, bukan sebagai penghormatan terhadap martabat manusia yang berpikir, merasa, dan bersuara.

Mahasiswa tersebut tidak membawa senjata, tidak memobilisasi massa, tidak menyebarkan kebencian. Ia membawa ide, ia menggunakan imajinasi, ia menabrak tabu politik melalui satire visual sebuah bentuk ekspresi klasik yang sudah jamak dalam sejarah seni dan demokrasi di banyak negara.

Jika satu gambar mampu mengguncang ketenangan kekuasaan, maka sesungguhnya bukan gambar itu yang berlebihan, melainkan ketakutan para pemegang kuasa yang terlalu rapuh menanggung kritik. Dan jika kita, sebagai bangsa, lebih cepat tersinggung oleh gambar dua pejabat berciuman ketimbang oleh pelanggaran HAM, pembungkaman suara, atau korupsi kebijakan maka barangkali kita sudah terlalu lama mabuk simbol dan lupa substansi.

Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur seharusnya membuka ruang dialog, bukan membangun tembok sensor. Ia seharusnya melindungi keberanian intelektual, bukan mengintimidasi ekspresi kritis. Ketika kebebasan berpendapat dikalahkan oleh standar sopan santun yang elastis dan sewenang-wenang, kita tidak sedang menjaga adab kita sedang melanggengkan feodalisme dalam bungkus moralitas.

Dalam konteks inilah kita mesti jujur mengakui Pancasila, yang diagungkan sebagai dasar negara belum sungguh-sungguh menjiwai praktik demokrasi dan tata kelola negara. Ia megah di mimbar, tetapi kerap absen dalam keputusan strategis.

Dipuja sebagai simbol, tetapi menguap dalam kelembagaan dan kebijakan. Alih-alih menjadi penuntun arah, Pancasila terkurung dalam retorika tanpa daya gerak. Padahal, yang kita dibutuhkan bukan sekadar slogan, melainkan roh yang menghidupkan hukum, lembaga, sistem perwakilan dan keputusan.

Bila terus menggantung sebagai slogan, tanpa mendarat di bumi, Pancasila kehilangan daya cipta, dan kita pun kehilangan arah.

Maka marilah kita rayakan Hari Lahir Pancasila sebagaimana mestinya: dengan barisan pidato yang syahdu, spanduk yang rapi, dan semangat nasionalisme yang hanya hidup selama tanggal merah. Sambil terus menganggap bahwa kritik adalah ancaman, ekspresi adalah penghinaan, dan bahwa gambar satir jauh lebih berbahaya daripada praktik oligarki.

Karena di negeri yang katanya beradab ini, lebih mudah mencabut karya seni daripada mencabut kebijakan yang melukai rakyat. Lebih cepat mengutuk gambar digital daripada mengadili penyalahgunaan kekuasaan. Dan tentu saja, lebih aman terlihat sopan daripada terdengar jujur.

Jadi tenang saja. Pancasila tetap suci, disimpan baik-baik di podium, dinyanyikan dalam upacara, dan dicetak di buku-buku pelajaran. Asal jangan terlalu dibawa ke kehidupan nyata nanti bisa bikin gaduh.

Selamat Hari Lahir Pancasila. Semoga ia tidak sekadar hidup di kalender, tapi juga di nurani, dan kalau boleh berharap di akal sehat.

Penulis: Faisal Hidayat, Kader PMII Rayon Hukum Universitas Mulawarman.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close