Warta

Menyoal Posisioning PMII di Era Kecerdasan Buatan (AI)

Muhammad Khasbi Minannurrohman, Demisioner Sekretaris PC PMII Kebumen Masa Khidmat 2022-2023/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kehadiran AI dapat memengaruhi perilaku moral manusia, terutama dengan menurunnya rasa bersalah dan niat moral saat berinteraksi dengan mesin dibandingkan dengan manusia. Pengguna cenderung kurang melaporkan kesalahan atau bertindak secara etis ketika berhadapan dengan AI atau mesin swalayan, karena interaksi yang tidak manusiawi mengurangi perasaan bersalah dan akhirnya menurunkan perilaku moral. Selain itu, AI sering dinilai kurang dapat diterima secara moral dibandingkan manusia, meskipun status sosial organisasi yang menggunakan AI dapat meningkatkan penerimaan moralnya.[1]

Dalam situasi di mana AI dan manusia bersama-sama membuat keputusan yang salah, manusia cenderung menyalahkan AI dibanding manusia itu sendiri. Hal ini yang membuka peluang untuk menjadikan AI sebagai “kambing hitam” atas kegagalan moral manusia. Perkembangan AI juga menantang dan mengaburkan batasan definisi moralitas, memaksa para peneliti untuk mempertimbangkan apakah AI bisa menjadi agen moral atau bahkan “pasien moral” yang layak mendapat pertimbangan etis. Beberapa peneliti menyoroti risiko hilangnya kendali moral manusia jika AI mengambil alih pengambilan keputusan tanpa pengawasan manusia yang memadai.[2]

Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa AI dikembangkan dan diterapkan dengan prinsip moral yang kuat serta pengawasan manusia yang berkelanjutan, agar teknologi ini tetap sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak mempercepat kemerosotan moralitas dalam masyarakat. Sebagai organisasi yang berperan sebagai wadah bagi mahasiswa Islam untuk mengembangkan diri dalam bidang keagamaan, intelektual, dan sosial, serta memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas dengan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman. PMII memainkan peran penting dalam menghadapi tantangan dan perubahan zaman. 

Dari hubungan antara kecerdasan buatan dan PMII sebagai organisasi yang memainkan peranan penting pada kehidupan bangsa dan negara itulah peneliti memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana kedua entitas ini bersinggungan dan bagaimana PMII seharusnya harus merespon perubahan yang hadir ke tengah-tengah pergumulan sosial. 

Kemunculan Kecerdasan Buatan

Kecerdasan buatan (AI) muncul dari perpaduan berbagai disiplin ilmu seperti logika, matematika, psikologi kognitif, dan teknik komputer, dengan akar sejarah yang dapat ditelusuri hingga abad ke-19 melalui karya Charles Babbage dan Ada Lovelace dalam merancang komputer mekanik pertama, serta pemikiran Alan Turing tentang mesin yang dapat meniru kecerdasan manusia. Istilah "artificial intelligence" sendiri pertama kali diperkenalkan oleh John McCarthy pada tahun 1956 dalam konferensi Dartmouth, yang menandai awal resmi bidang AI modern. Sejak saat itu, AI berkembang melalui beberapa tahap penting: masa awal dengan fokus pada pemecahan masalah dan logika, periode stagnasi (AI winter), kebangkitan kembali dengan kemunculan machine learning, hingga era modern yang ditandai oleh kemajuan pesat dalam deep learning dan pemrosesan bahasa alami seperti model GPT.[3]

Selama masa pandemi COVID-19 di Indonesia, kecerdasan buatan (AI) memainkan peran penting dalam berbagai aspek penanganan wabah. AI digunakan untuk deteksi dini dan diagnosis COVID-19 melalui analisis citra medis seperti X-ray dan CT scan, yang membantu mempercepat identifikasi pasien terinfeksi dan mengurangi beban tenaga medis. Selain itu, AI dimanfaatkan untuk memprediksi penyebaran virus, memantau tren epidemi, dan membantu pengambilan keputusan di tingkat kebijakan kesehatan masyarakat. Teknologi ini juga berperan dalam pengembangan obat dan vaksin, serta mempercepat proses penemuan kandidat terapi baru melalui analisis data besar.[4]

Di Indonesia, AI mendukung sistem pelacakan kontak, pemantauan pasien, dan penyebaran informasi kesehatan secara real-time, meskipun tantangan seperti keterbatasan data, infrastruktur, dan validasi klinis masih menjadi hambatan. Secara global, AI terbukti meningkatkan efisiensi deteksi, prediksi, dan respons terhadap pandemi, namun implementasinya di negara berkembang seperti Indonesia memerlukan adaptasi terhadap sumber daya yang tersedia dan regulasi yang ketat. Dengan demikian, AI menjadi alat strategis dalam memperkuat sistem kesehatan Indonesia selama pandemi, meski masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk optimalisasi dan keberlanjutan penggunaannya.[5]

AI kini telah merambah berbagai aspek kehidupan, mulai dari pencarian internet, pengenalan suara dan gambar, hingga sistem rekomendasi dan robotika. Perkembangan AI juga menimbulkan tantangan baru, seperti potensi penggantian pekerjaan manusia dan isu etika dalam interaksi manusia-mesin. Meskipun AI telah mencapai kemajuan luar biasa, penciptaan "kecerdasan buatan kuat" yang benar-benar setara dengan manusia masih menjadi tantangan besar di masa depan.[6]

Fitrah Manusia dalam Menghadapi Perubahan

Fitrah manusia, atau hakikat dasar manusia, merujuk pada sifat, perilaku, dan kecenderungan psikologis yang umumnya dimiliki oleh semua anggota spesies manusia. Para ilmuwan dan filsuf telah lama memperdebatkan apakah ada karakteristik esensial yang membedakan manusia dari makhluk lain, serta sejauh mana sifat-sifat ini bersifat universal atau dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan. Secara biologis, manusia memiliki kapasitas untuk berpikir abstrak, merasakan dan mengekspresikan emosi, belajar bahasa, serta dorongan untuk bertahan hidup, bersosialisasi, dan bereproduksi—semua ini dianggap sebagai bagian dari fitrah manusia yang berevolusi untuk mendukung kelangsungan hidup dan reproduksi.[7]

Namun, ada juga perbedaan individu dan variasi lintas budaya yang menunjukkan bahwa fitrah manusia bersifat fleksibel dan dapat berubah seiring waktu. Beberapa pandangan menekankan bahwa konsep fitrah manusia tidak dapat didefinisikan secara mutlak karena adanya keragaman pengalaman dan perkembangan manusia. Meski demikian, gagasan tentang fitrah manusia tetap penting dalam memahami perilaku, moralitas, dan perkembangan manusia di berbagai konteks.[8]

Fitrah manusia dalam menghadapi perubahan adalah kemampuan dasar untuk beradaptasi, tumbuh, dan berubah, bukan sekadar sifat yang tetap dan tidak bisa diubah. Penelitian menunjukkan bahwa manusia memiliki kapasitas luar biasa untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru, baik secara individu maupun kolektif, dan keyakinan bahwa sifat manusia bisa berkembang (growth mindset) mendorong pencapaian intelektual, resolusi konflik, dan ketahanan menghadapi tantangan.[9] Pandangan bahwa “sifat manusia tidak bisa diubah” telah dikritik karena mengabaikan keragaman budaya, pengaruh institusi, dan kemampuan manusia untuk melakukan transformasi sosial dan lingkungan. 

Dalam konteks perubahan besar seperti krisis lingkungan atau kemajuan teknologi, manusia justru didorong untuk mengembangkan resiliensi, keterbukaan, dan hubungan yang lebih harmonis dengan alam. Adaptasi dan ketidaksempurnaan adalah bagian dari fitrah manusia, yang memungkinkan kita terus belajar dan memperbaiki diri di tengah ketidakpastian. Oleh karena itu, menghadapi perubahan bukanlah tentang melawan kodrat, melainkan mengaktualisasikan potensi dasar manusia untuk tumbuh, berinovasi, dan membangun masa depan yang lebih baik.[10]

AI membawa tantangan besar bagi manusia, baik dalam kolaborasi kerja maupun dalam kehidupan sosial. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana manusia dapat secara efektif mendelegasikan tugas kepada AI, karena manusia sering kali kurang mampu menilai kapan AI lebih unggul atau kapan keputusan manusia lebih dibutuhkan, sehingga kolaborasi bisa kurang optimal. Selain itu, manusia perlu mengembangkan pemahaman yang tepat tentang cara kerja AI agar dapat memanfaatkan keunggulan AI tanpa kehilangan kendali atau menjadi terlalu bergantung.[11]

Tantangan lain muncul dalam aspek sosial dan hukum, seperti penentuan tanggung jawab jika terjadi kesalahan akibat keputusan AI, serta potensi AI memperkuat ketidaksetaraan sosial melalui keputusan algoritmik. Dalam dunia pendidikan dan pelatihan, AI menuntut manusia untuk mengasah keterampilan seperti kreativitas, berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi, yang tidak mudah digantikan oleh mesin. Selain itu, penting untuk memastikan AI dikembangkan secara etis, adil, dan berpusat pada manusia, dengan memperhatikan privasi, transparansi, dan tata kelola yang baik [12][13]. Dengan demikian, tantangan utama AI bagi manusia adalah menyeimbangkan pemanfaatan teknologi ini untuk meningkatkan kualitas hidup, sambil tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan mengantisipasi dampak negatifnya.[14]

Melacak Posisioning PMII dalam Menghadapi Perubahan

Organisasi memainkan peran penting dalam menghadapi kecerdasan buatan (AI) dengan mengintegrasikan teknologi ini ke dalam proses bisnis, pengambilan keputusan, dan pengembangan organisasi secara strategis. Implementasi AI dapat meningkatkan efisiensi, inovasi, dan nilai bisnis, namun juga menimbulkan tantangan seperti kebutuhan perubahan budaya organisasi, manajemen perubahan, dan pengembangan keterampilan baru bagi anggota sebuah organisasi. Dalam pengambilan keputusan, AI sebaiknya digunakan untuk melengkapi, bukan menggantikan, peran manusia, sehingga tercipta simbiosis antara kecerdasan manusia dan mesin, terutama dalam situasi yang kompleks dan penuh ketidakpastian.[15]

Organisasi juga harus memperhatikan aspek etika, keterlibatan pemangku kepentingan, serta dampak sosial dari penerapan AI, termasuk perlindungan terhadap kelompok yang terdampak namun tidak memiliki kekuatan untuk memengaruhi proyek AI. Selain itu, organisasi perlu menyesuaikan strategi, infrastruktur, dan model marketing agar dapat memanfaatkan AI untuk mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan dampak positif secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.[16] Pemerintah dan organisasi publik berperan dalam mendorong inovasi AI yang berorientasi pada kepentingan publik, sementara organisasi berbasis bisnis cenderung fokus pada komersialisasi. Keberhasilan adopsi AI sangat dipengaruhi oleh kesiapan teknologi, struktur organisasi, dan faktor lingkungan, yang berbeda pada setiap tahap adopsi. Dengan demikian, organisasi harus mengembangkan kerangka kerja yang adaptif, memperkuat tata kelola, dan terus berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia untuk menghadapi tantangan dan memaksimalkan peluang dari AI.[17]

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai sebuah organisasi di era kecerdasan buatan (AI) menghadapi tantangan dan peluang besar untuk memperkuat peran dan relevansinya. Di tengah transformasi digital, AI telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi, akurasi, dan objektivitas dalam berbagai bidang, termasuk forensik dan ilmu pengetahuan, dengan mengurangi bias manusia dan mempercepat pengambilan keputusan berbasis data.[18]

PMII dapat memposisikan diri sebagai pelopor literasi digital dan etika AI di kalangan mahasiswa dan masyarakat, mendorong pemanfaatan teknologi untuk keadilan sosial, serta mengawal kebijakan agar AI digunakan secara inklusif dan berkeadilan. Selain itu, PMII dapat mengembangkan program pelatihan dan advokasi terkait AI, memperkuat kolaborasi dengan institusi pendidikan dan teknologi, serta memastikan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan tetap menjadi landasan dalam pemanfaatan AI. Dengan demikian, positioning PMII di era AI adalah sebagai agen perubahan yang adaptif, kritis, dan solutif dalam menghadapi tantangan revolusi industri 4.0, sekaligus menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.

Penutup

Perkembangan AI menantang batasan definisi moralitas, memaksa para peneliti mempertimbangkan apakah AI bisa menjadi agen moral atau bahkan “pasien moral” yang layak mendapat pertimbangan etis. Ada kekhawatiran mengenai hilangnya kendali moral manusia jika AI mengambil alih pengambilan keputusan tanpa pengawasan yang memadai. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa AI dikembangkan dengan prinsip moral yang kuat dan pengawasan manusia yang berkelanjutan agar tidak mempercepat kemerosotan moralitas dalam masyarakat.

Di sisi lain, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memiliki peluang untuk memperkuat relevansinya di era AI dengan menjadi pelopor literasi digital dan etika AI. PMII dapat mendorong penggunaan teknologi untuk keadilan sosial dan memastikan kebijakan AI bersifat inklusif. Melalui program pelatihan dan advokasi, serta kolaborasi dengan institusi pendidikan dan teknologi, PMII berperan sebagai agen perubahan yang adaptif dan solutif dalam menghadapi tantangan revolusi industri 4.0.

Penulis: Muhammad Khasbi Minannurrohman, Demisioner Sekretaris PC PMII Kebumen Masa Khidmat 2022-2023.

Referensi:

  • Schenk, P., Müller, V., & Keizer, L., 2024. Status Sosial dan Penerimaan Moral Kecerdasan Buatan. Ilmu Sosiologis. https://doi.org/10.15195/v11.a36.
  • Fabre, R., Ibáñez, J., & Escobar, P., 2020. Kontrol moral dan kepemilikan dalam sistem AI. AI & Masyarakat, 36, hlm. 289 - 303. https://doi.org/10.1007/s00146-020-01020-z.
  • Yashchenko V. "From McCulloch to GPT - 4: stages of development of artificial intelligence.." Artificial Intelligence (2024). https://doi.org/10.15407/jai2024.01.031.
  • Alaa A. Abd-alrazaq, Mohannad Alajlani, Dari Alhuwail, Jens Schneider, S. Al-Kuwari, Zubair Shah, Mounir Hamdi and M. Househ. "Artificial Intelligence in the Fight Against COVID-19: Scoping Review." Journal of Medical Internet Research, 22 (2020). https://doi.org/10.2196/preprints.20756.
  • Raju Vaishya, M. Javaid, I. Khan and Abid Haleem. "Artificial Intelligence (AI) applications for COVID-19 pandemic." Diabetes & Metabolic Syndrome, 14 (2020): 337 - 339. https://doi.org/10.1016/j.dsx.2020.04.012.
  • Ibid.
  • F. D. de Waal. "Human nature." Science, 356 (2017): 1239 - 1239. https://doi.org/10.1126/science.aan4208.
  • George Amos Dorsey. "The Nature of Man." Edinburgh Medical Journal, 15 (1904): 101 - 105. https://doi.org/10.1038/120361d0.
  • C. Dweck. "Mindsets and human nature: promoting change in the Middle East, the schoolyard, the racial divide, and willpower.." The American psychologist, 67 8 (2012): 614-22 . https://doi.org/10.1037/a0029783.
  • Q. Atkinson and Jennifer Jacquet. "Challenging the Idea That Humans Are Not Designed to Solve Climate Change." Perspectives on Psychological Science, 17 (2021): 619 - 630. https://doi.org/10.1177/17456916211018454.
  • Lixiang Yan, Samuel Greiff, Ziwen Teuber and D. GaÅ¡ević. "Promises and challenges of generative artificial intelligence for human learning." Nature human behaviour, 8 10 (2024): 1839-1850 . https://doi.org/10.48550/arXiv.2408.12143.
  • Ozlem Ozmen Garibay et al. "Six Human-Centered Artificial Intelligence Grand Challenges." International Journal of Human–Computer Interaction, 39 (2023): 391 - 437. https://doi.org/10.1080/10447318.2022.2153320.
  • Anne D. Batang, Hendrik Birkel dan E. Hartmann. "Pada Kondisi Saat Ini Menggabungkan Kecerdasan Manusia dan Buatan untuk Pengambilan Keputusan Organisasi Strategis." Penelitian Bisnis (2020). https://doi.org/10.1007/s40685-020-00133-x.
  • Ignat Kulkov, Julia Kulkova, René Rohrbeck, Loick Menvielle, V. Kaartemo and Hannu Makkonen. "Artificial intelligence ‐ driven sustainable development: Examining organizational, technical, and processing approaches to achieving global goals." Sustainable Development (2023). https://doi.org/10.1002/sd.2773.
  • Lee, M., Scheepers, H., Lui, A., & Ngai, E., 2023. Implementasi kecerdasan buatan dalam organisasi: Tinjauan literatur sistematis. Inf. Manag., 60, hlm. 103816. https://doi.org/10.1016/j.im.2023.103816.
  • R. Sharma, Diksha, A. Bhute and B. Bastia. "Application of artificial intelligence and machine learning technology for the prediction of postmortem interval: A systematic review of preclinical and clinical studies.." Forensic science international, 340 (2022): 111473 . https://doi.org/10.1016/j.forsciint.2022.111473.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close