Warta

Follow-Up atau Follow-Down? Membongkar Stagnasi Kaderisasi PMII

Muhammad Iqbal Sanusi, Kader PMII DIY/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Kaderisasi dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sesungguhnya merupakan nyawa organisasi. Ia bukan sekadar proses perekrutan anggota baru belaka melainkan sebuah perjalanan membentuk kader yang cerdas, militan dan berintegritas. Disadari atau tidak, masih banyak yang salah kaprah memandang follow-up sebatas pengulangan materi formal semata. Padahal sudah jelas bahwa follow-up sendiri berarti tindak lanjut untuk meningkatkan kapasitas kader.

Pentingnya Pendekatan yang Jelas

Mengacu pada Teori KSA yang dikemukakan oleh (Bloom, Engelhart, Frust, Hill, & Krathwohl, 1956) pada (Nafiati, 2021) pendidikan pada manusia di sekolah maupun organisasi haruslah menyentuh knowledge (Pengetahuan), skill (Keterampilan) dan attitude (Sikap). Di mana konteks follow-up pada Attitude menjadi momen memperdalam dan memperkuat etos belajar seperti keberpihakan ilmu pengetahuan, solidaritas nilai serta militansi dalam berorganisasi.

Knowledge terus di asah dalam menyentuh nilai-nilai yang dianut PMII, analisis kritis hingga pemahaman realita sosial dari sektor nasional hingga lokal. Sehingga kedua hal tersebut mampu menjadi tindakan untuk meperkukuh kegiatan agitasi, propaganda dan advokasi di berbagai medan secara efektif.

Mengingat Ruang Lingkup Kaderisasi

Tindak lanjut pasca kaderisasi formal yakni nonformal meliputi kelas, pelatihan dan kajian harus menjadi ruang pengayaan pengetahuan dan peningkatan kapasitas yang terstruktur dan sistematis dengan adanya kurikulum hingga silabus yang jelas.

Kaderisasi In-Formal tidak hanya dipahami sebatas mentoring belaka namun diinterpretasikan sebagai “ruang pembiasaan” terutama setting iklim membentuk tradisi intelektual, kegiatan kepanitiaan untuk melatih nalar kritis dengan memberlakukan setiap agenda merupakan gerakan yang tidak hanya dilatih melakukan persiapan teknis saja sehingga basis soft skill pada wilayah attitude bahkan afeksi turut terbentuk (Harahap, 2017).

Refleksi Kaderisasi atas Kondisi PMII

Kaderisasi PMII tidak hanya berkutat pada formalitas perekrutan dan pelatihan semata. Melainkan pemberdayaan kader dalam Sikap, Pengetahuan dan Keterampilan tersusun proporsional secara terarah juga matang dimana memperhatikan hard-skill yang terukur dibarengi dengan soft-skill yang mengakar kuat. Penulis menemukan banyak struktur PMII di Indonesia masih menganggap Follow-Up sebagai pengulangan materi kaderisasi formal pada ruang nonformal sehingga proses kaderisasi In-formal tidak hanya mengalami stagnasi bahkan bisa dibilang “mati”.

Tidak heran jika hari ini PMII kehilangan responsivitas terhadap isu-isu aktual dan tenggelam dari peradaban dikarenakan tradisi intelektual yang “telanjur tidak terbentuk” hingga tidak disadari. Pengulangan kesalahan antar generasi kepengurusan terus terjadi dikarenakan tumpulnya nalar dan kehilangan “nyawa” pada tubuh organisasi ini. Alhasil sistem kaderisasi tidak mampu mengakomodir perkembangan kader secara utuh.

Ketika ASWAJA masih menjadi manhajul fikr wal harakah mengapa kader PMII cenderung kehilangan nalar dan bertumpu pada cara berpikir tekstual? Ditambah lagi dinamika arena Kongres juga MUSPIMNAS selalu diprioritaskan pada transaksi politik struktural dan orientasi perluasan jejaring pragmatis saja. PMII yang seharusnya menjadi garda terdepan perjuangan membela kaum mustad’afin berubah menjadi wadah batu loncatan menuju politisi yang haus kekuasaan.

Kaderisasi hanya terjebak pada argumentasi pragmatis dan admisnistratif semata tanpa menyentuh substansi pembentukan karakter dan kapasitas kader. Jika masih dibiarkan, jangan heran ketika PMII kehilangan jati diri sebagai organisasi gerakan yang sudah berubah menjadi klub politik elite yang jauh dari idealisme perjuangan.

Semoga seluruh jajaran PB PMII terkhusus Ketua Umum dan Biro Kaderisasi Nasional turut sadar akan kondisi tersebut dalam berikhtiar mewujudkan perubahan di Organisasi ini. Minimal atas berbagai permasalahan di atas seyogyanya perlu melakukan:

  1. Melakukan Assesment pada seluruh PC mengenai pemahaman kaderisasi secara metodologi hingga metode.
  2. Memasifkan kegiatan Training of Instructur (TOI) dan Training of Facilitator (TOF) dan diwajibkan hingga pada tingkatan PK dan PR.
  3. Membuat pedoman kaderisasi yang tidak hanya menceritakan dan menjelaskan distribusi kader, namun bagaimana melaksanakan kaderisasi yang tersusun, terarah dan sistematis.

Jika PB PMII tidak mampu melakukan hal tersebut, penulis siap untuk membuktikan apa yang menjadi tulisan ini tidak hanya sekadar omong kosong belaka. Salam Pergerakan!!!

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close