Warta

Matinya Mentoring PMII, Pudarnya Arah Kaderisasi dalam Pusaran Krisis

Sunardi, Wakil Ketua 1 Bidang Kaderisasi PC PMII Pacitan Periode 2024-2025/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Sejak berdirinya pada 17 April 1960, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) telah menegaskan dirinya sebagai organisasi kader yang berpijak pada nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah serta komitmen kebangsaan. Di tengah dinamika sosial politik bangsa, PMII tampil sebagai pelopor gerakan mahasiswa yang tidak hanya aktif dalam ranah advokasi sosial, tetapi juga sebagai ruang pengkaderan intelektual.

Namun belakangan, kita menghadapi fenomena mengkhawatirkan: hilangnya kelas menengah intelektual dalam tubuh kaderisasi PMII. Fenomena ini menciptakan semacam “invisible gap” kesenjangan senyap yang berdampak serius terhadap arah dan kualitas kaderisasi kita hari ini.

Kaderisasi yang Terjebak pada Formulasi Struktural

Kaderisasi PMII pada tingkatan rayon hingga cabang kini lebih banyak bergerak dalam kerangka struktural dan administratif. Pelatihan-pelatihan formal seperti MAPABA, PKD, hingga PKL kerap dijalankan dengan semangat prosedural mengejar kuota peserta, mengejar jadwal, dan memenuhi standar pelaporan. Sayangnya, penguatan substansi intelektual dan dialektika wacana kerap tertinggal jauh. Banyak kader yang hanya selesai dalam pelatihan, namun tidak mengalami proses pendewasaan pemikiran setelahnya.

Kita sering menjumpai kader yang aktif dalam kegiatan seremonial, struktural, bahkan demonstrasi, namun tidak cukup terlibat dalam proses pembacaan, diskusi, atau pengembangan gagasan. Padahal, sebagai organisasi kader, PMII memiliki tanggung jawab melahirkan intelektual muda yang tidak hanya kritis terhadap realitas sosial, tetapi juga mampu menyusun wacana perubahan secara konseptual dan berkelanjutan.

Hilangnya Kelas Menengah Intelektual Mengapa Itu Terjadi?

Kelas menengah intelektual dalam organisasi kader seperti PMII adalah kelompok yang berperan sebagai penyambung nalar, penengah ide, dan penggerak dialektika. Mereka mungkin tidak selalu berada di garis depan aksi atau struktur, tetapi keberadaan mereka krusial untuk menjaga kedalaman gerakan. Namun, di banyak wilayah termasuk Pacitan, kelas ini nyaris hilang. Ada beberapa penyebab utama:

  1. Terlalu Fokus pada Struktur, Minim Penguatan Substansi. Kaderisasi berjalan sesuai alur formal, namun tidak disertai tindak lanjut intelektual yang memadai. Akibatnya, kader tidak terbiasa berpikir secara mendalam dan reflektif.
  2. Ketiadaan Ruang dan Budaya Diskusi. Diskusi telah menjadi “barang langka” di banyak rayon dan komisariat. Budaya membaca dan menulis tidak tumbuh karena tidak ada iklim yang mendukung. Kegiatan kaderisasi cenderung teknis, cepat, dan tidak meninggalkan ruang perenungan.
  3. Populisme Organisasi dan Minimnya Keteladanan Intelektual. Kader lebih bangga pada pencapaian struktural daripada kualitas pemikiran. Di sisi lain, tidak banyak tokoh PMII lokal yang tampil sebagai panutan intelektual, sehingga kader kehilangan orientasi peran.

Arah Kaderisasi: Menyambungkan Kembali Intelektualisme dan Aktivisme

Sebagai pengurus cabang yang bertanggung jawab pada bidang kaderisasi, saya melihat perlunya rekonstruksi arah kaderisasi PMII agar lebih berimbang. Beberapa hal yang perlu ditempuh antara lain:

  1. Revitalisasi Tradisi Intelektual Lokal. Kaderisasi harus mulai menyentuh persoalan substansi. Kelompok studi, forum baca, bedah buku, dan diskusi reflektif harus menjadi program rutin, bukan insidental. Kita butuh membiasakan kader berpikir jangka panjang, bukan hanya jangka struktural.
  2. Memberi Ruang Apresiasi pada Kader Literatif. Kader yang aktif menulis, meneliti, atau berdiskusi harus diberikan ruang dan penghargaan. Mereka adalah benih-benih intelektual yang jika dirawat akan menjadi sumber daya strategis PMII di masa depan.
  3. Integrasi antara Pendidikan Organisasi dan Akademik. Kegiatan kaderisasi harus mampu menjembatani ilmu yang didapat di kampus dengan realitas sosial. Modul kaderisasi juga perlu ditinjau ulang, agar tidak stagnan dan mampu menjawab tantangan zaman.

Kaderisasi adalah proses panjang yang memerlukan ketelatenan, arah yang jelas, dan kesadaran ideologis. Hilangnya kelas menengah intelektual tidak hanya memperlemah PMII dalam hal gagasan, tetapi juga dalam menentukan arah gerak organisasi di masa depan. Sudah saatnya kita menata ulang sistem kaderisasi PMII: membangkitkan kembali budaya berpikir, menghidupkan ruang diskusi, dan mencetak kader yang tidak hanya aktif secara struktural, tetapi juga tajam secara pemikiran.

Penulis: Sunardi, Wakil Ketua 1 Bidang Kaderisasi PC PMII Pacitan Periode 2024-2025.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close