Warta

Kenestapaan PMII Denpasar

Teguh Alfaidzin, Kader PMII Denpasar/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri di Kota Denpasar pada tahun 1997 yang diprakarsai oleh Sahabat Asep Kurniawan, alumnus mahasiswa Universitas Udayana. Urgensi lahirnya PMII di Kota Denpasar disebabkan beberapa hal.

Pertama, Hasrat mahasiswa seluruh Indonesia untuk bersosial-berkomunal juga di Kota Denpasar makin tak terbendung, sebab kebebasan berekspresi dipenjara oleh pemerintah orde baru, politik dan hukum makin kacau, serta bertambah dan tak berdayanya kaum mustadh'afin akibat berbagai keserakahan dan kebijakan pemerintah orde baru yang menghisap.

Kedua, kerinduan dan keinginan mahasiswa Nahdliyin untuk memiliki wadah organisasi berhaluan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di tengah pulau minoritas islam. Walau dalam perkembangannya keanggotaan PMII Denpasar sangat dinamis dan lentur bahkan beberapa periodesasi kepengurusan (1998-2000) banyak terdapat pengurus PMII berasal dari kelompok lain (baca: Nonis). Saat saya tanya mengapa hal tersebut bisa terjadi, jawaban pendahulu adalah kesamaan prinsip.

Hingga saat ini PMII di kota Denpasar berusaha eksis menjadi bagian organisasi gerakan mahasiswa (student movement) serta berupaya konsisten melahirkan sentrum pencetak pemikir islam yang kritis dan toleran di tengah heterogenitas dan multikulturalisme Kota Denpasar. 

Kepemimpinan ketua cabang beserta jajaran kepengurusan turut mewarnai perkembangan organisasi ini mulai dari Sahabat Asep Kurniawan (1997-2000) Sahabat Ahmad Maula (2000-2002) Sahabat Noerul Hidayat (2002-2004) Sahabat Andik Maghfur (2004-2005) Sahabat Teguh Widodo (2005-2006) Sahabat Suparto (2006-2008) Sahabat Topan Ardiansyah (2008-2010) Sahabat Rosidah (2010-2011) Sahabat Ahad (2015-2019) Sahabat Teguh Irwansyah (2019-2020) Sahabat Hafidz (2020-2021) Sahabat Halimatus Sakdia (2021-2023) teranyar Saya.

Sekilas ditinjau dari transisi kepengurusan diatas adalah tergolong organisasi yang sehat, apa sebab? karena mekanisme konferensi, pergantian pengurus dan ketua cabang berjalan sesuai aturan main organisasi artinya organisasi berhasil berkembang. Benarkah demikian?

Pada era ketua cabang Sahabat Rosidah (2010) mengalami stagnasi transisi, berhenti atau vakum total karena tidak ada lagi regenerasi kepengurusan yang menyebabkan PMII Denpasar bubar. Barulah pada masa Sahabat Ahad (2015) PMII Denpasar bangkit kembali hingga sekarang walau babat alas, dimulai dari nol.

Jika ditelisik lebih dalam kurang tepat jika indikator berkembangnya organisasi hanya dinilai dari bergantinya kepengurusan atau ketua cabang. Hemat saya berkembangnya organisasi dinilai dari sudut indikator kuantitatif seperti struktural cabang atau komisariat yang berkelanjutan, jumlah kader yang terus bertambah serta terbentuknya struktural persiapan di tingkat Perguruan Tinggi atau Komisariat.

Lanjut indikator kualitatif yakni rutinnya menggelar kaderisasi formal macam Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), Pelatihan Kader Dasar (PKD), Pelatihan Kader Lanjut (PKL) sebab dalam ruang kaderisasi diatas (termasuk informal dan nonformal) kader akan ditempa, digodok alhasil memproduksi insan pergerakan sejati sehingga mampu menelurkan rekomendasi berbagai langkah gerak untuk mengembangkan organisasi.

Celakanya, dari zaman Sahabat Asep Kurniawan (1997) dua indikator berkembangnya organisasi tak pernah tercapai. Pertama dari sisi kuantitatif dari zaman Sahabat Asep Kurniawan (1997) hingga Sahabat Rosidah (2010) PMII Denpasar hanya memiliki satu komisariat definitif yakni Komisariat Udayana. Indikator kualitatif berikut kaderisasi formal nyaris maksimal hanya PKD.

Kemudian pada masa Sahabat Ahad (2015) sampai sekarang tak berbeda jauh. Pada masa Sahabat Ahad yang memulai dari nol berhasil mendirikan Komisariat Sekolah Tinggi Agama Islam Denpasar (STAID) saja. Beralih ke periode Sahabat Halimatus Sakdia lahir kembali Komisariat Udayana namun sayang komisariat STAID kembali bubar.

Tiap periode kepengurusan, struktural komisariat timbul tenggelam, “yang sini hidup yang sana mati” begitu seterusnya. Cita-cita untuk mengadakan PKL, lebih-lebih mendirikan Pengurus Koordinator Cabang hanya mimpi di siang bolong. 

15 tahun sudah usia PMII di Kota Denpasar, usia yang tergolong kenyang melewati berbagai problem, tantangan, dinamika zaman yang rutin berubah. Namun dalam perjalanannya justru makin hari mengalami dekadensi. Kemunduran yang dimaksud adalah gagalnya regenerasi kepengurusan yang menyebabkan pewarisan nilai berikut rantai pengetahuan, role model organisasi yang pernah dirancang terputus dan berulang. sehingga arah gerak organisasi cenderung fluktuatif-stagnan. 

Problem Sulitnya Berkembang

Dari masa ke masa problem sulitnya PMII Denpasar berkembang masih sama. Pertama, karena Denpasar adalah daerah minoritas Islam, amat sulit mencari anggota baru. Kedua, faktor logistik untuk mencukupi kebutuhan organisasi karena terbatasnya senior dan akses. Ketiga, format kaderisasi PMII tidak relevan dengan identitas daerah pariwisataisme Kota Denpasar yang serba kompetensi dan efektivitas waktu.

Salah satu alasan rasional sulitnya PMII berkembang di Kota Denpasar adalah tidak terlepas dari faktor daerah minoritas islam. Data yang saya himpun dari BPS Kota Denpasar teranyar jumlah masyarakat islam kota Denpasar yakni 149.265 ribu jiwa (22,58%) dari total penduduk berjumlah 660.98 ribu jiwa. Sementara jumlah penduduk di rentan usia 19-30 tahun (usia umum mahasiswa) yakni 56.650 ribu jiwa.

Jika data diatas dilebur dan dikalkulasi dengan menghitung penduduk usia mahasiswa dan rata-rata masyarakat yang memeluk agama islam maka hanya sekitar 13.791 ribu jiwa mahasiswa islam yang berpotensi kuliah di Perguruan Tinggi (PT) Kota Denpasar.

Kemudian jumlah PT yang ada di Kota Denpasar berjumlah 31 baik PT Negeri maupun Swasta dibawah naungan Kemendikti/Kemenag. Memang banyak tetapi banyak juga PT yang spesifik diperuntukkan untuk kelompok lain (baca: Nonis). Kurang lebih hanya sekitar 6 kampus yang potensial diperjuangkan untuk dibentuk struktural PMII di tingkat Komisariat atau PT.

Dari data sederhana di atas apa yang ingin saya katakan? bahwa selama ini basis-basis PMII se-Nusantara berbanding lurus dengan dominasi jumlah pemeluk agama islam dan PT. Semakin banyak mahasiswa beragama islam dan PT di wilayah tersebut maka dapat dipastikan semakin pesat PMII berkembang. Maka amat logis jika alasan PMII Denpasar tak jua berkembang adalah faktor daerah minoritas islam.

Selanjutnya adalah soal logistik. Dari mana PMII sebagai organisasi nonprofit mencukupi kebutuhannya? Jika hanya mengandalkan dana hibah rasanya sangat berat, sebab beribu organisasi lain juga sedang antri di sana.

Mau berharap senior atau kader untuk patungan? Rasanya mustahil, banyak senior yang disibukkan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, (senior di sini sibuk dengan dunianya masing-masing). Selanjutnya mau berharap apa dengan kader PMII? Bekerja untuk mencukupi kebutuhan pribadi saja kurang, kalau mencukupi kebutuhan receh organisasi seperti cetak surat, poster atau gorengan sebagai pelengkap giat diskusi dan sejenisnya sudah rutin kami gilir.

Itulah faktor PMII Denpasar tak jua berkembang. Walau pun sulit, konsep kemandirian ekonomi organisasi harus segera di elaborasi sebab mungkin dengan cara itu organisasi ini tetap bisa bertahan, berkembang dan eksis.

Terakhir adalah soal kaderisasi. Kaderisasi formal PMII seperti MAPABA dan PKD menghabiskan waktu sampai tiga hari. PKL apalagi, bisa satu minggu. Membaca, menyimak dan berdiskusi adalah kegiatan yang dilakukan selama mengikuti giat kaderisasi.  Waktu pelaksanaan juga mirip seperti tempaan pendidikan militer. Dimulai pagi sekali sebelum subuh sampai dini hari menjelang subuh begitu seterusnya. 

Apa yang salah dari sistematika format diatas? Jika model tersebut dilaksanakan di Denpasar kurang efektif. Pertama, Denpasar adalah pulau beridentitas pariwisata, semua serba kompetensi dan efektif dalam urusan waktu. Maka jangan heran mahasiswa yang masih duduk di bangku semester bawah sudah malang melintang bergelut di dunia industri. 

Jika masyarakat atau mahasiswa tidak memprioritaskan dua urgensi diatas maka sudah pasti tersingkir dalam dunia persaingan. Kondisi tersebut yang akhirnya memproduksi mahasiswa yang serba fleksibel. 

Maka sebagai upaya mengembangkan PMII Denpasar, bongkar pasang format kaderisasi perlu dicoba. Toh bukan mengubah esensi dasarnya apalagi muatan materinya, melainkan dengan menambahkan fitur-fitur baru yang relevan dengan kebutuhan dan tantangan.

Naas, 15 tahun usia PMII Denpasar, selama itu pula tak ada satu pun kader dan alumni yang mampu membaca jeli akar masalah dan menuangkan formula atas segala problem berganda yang menghimpit organisasi.

Penulis: Teguh Alfaidzin, Kader PMII Denpasar.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close