![]() |
Hizbul Aulia Indriansyah/Foto: Aktivis Autentik |
Selama ini, PMII sering terhambat oleh ketakutan yang menghalangi kemajuan: takut mencoba, takut salah, takut berbuat, takut gagal, dan takut sia-sia. Pola pikir ini menghambat kader-kader PMII untuk melihat ancaman sebagai tantangan dan hambatan sebagai kesempatan. Generasi milenial PMII harus mengubah paradigma ini. Mereka perlu menggunakan sains dan teknologi sebagai tumpuan, berpikir jernih, dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Tujuan utama haruslah kehidupan yang bernilai dan bermakna bagi kemanusiaan dan pencipta-Nya.
Generasi kader saat ini hidup dalam era informasi dan teknologi yang berlimpah, bahkan hingga taraf informasi berlebihan (information overload). Kondisi ini, sebagaimana disebutkan oleh Harvard Business Review (2009), dapat membunuh kreativitas dan produktivitas. Banyak kader yang terjebak dalam lautan informasi tanpa mampu memilah sesuai kebutuhan, menghabiskan waktu dengan halusinasi digital. Fenomena ini adalah ancaman nyata bagi PMII jika tidak segera ditangani.
PMII menghadapi dua tantangan besar. Pertama, era disrupsi. Lambatnya PMII dalam merespons perubahan membuatnya terancam tersingkir dari persaingan. Pesaing PMII bukan lagi hanya organisasi Cipayung, tetapi individu-individu muda yang berpendidikan tinggi dengan visi besar, seperti banyaknya CEO startup sukses yang tidak berlatar belakang aktivis. Kaderisasi yang terlalu birokratis dan penuh hambatan membuat PMII sulit bersaing dan gagal mengembangkan potensi kadernya.
Kedua, pergeseran cara pandang terhadap pendidikan tinggi di negara-negara industri. Perusahaan besar mulai merekrut tanpa syarat ijazah, lebih mementingkan keterampilan dan pengalaman praktis. Potensi, kreativitas, dan komitmen belajar lebih diprioritaskan daripada sekadar gelar akademis. Fenomena ini memunculkan pertanyaan: Apakah masih perlu kuliah? Jika ya, apakah berorganisasi dalam waktu lama penting jika bakat tidak berkembang?
Jika boleh mengatakan pesimis, keadaan kader hari ini sangat pas jika dikatakan, “jangankan solid, kesadaran berorganisasi saja tidak punya.” Agenda-agenda keseharian sudah hampir jauh dari diskusi dan literasi, yang ada hanyalah ngopa-ngopi ke sana ke sini. Memang di satu sisi, ada banyak orang mengatakan kalau istilah ngopi adalah singkatan dari ngolah pikiran. Apalagi kopi, di berbagai warung kopi sering dipajang sebagai ‘Ketika Otak Butuh Inspirasi.’ Memang tidak ada salahnya jika ngopi terus dilestarikan, bahkan ngopi seakan-akan sudah jadi kewajiban di antara teman diskusi dan penanaman literasi. Namun, pertanyaannya adalah apakah tradisi ngopi hari ini mampu mencerahkan pikiran dan menghasilkan pemikiran?
Idealnya, kader PMII terlahir dari berbagai tempaan dan proses yang terpadu, bukan usaha yang instan. Penguasaan ilmu yang ditopang dengan pengalaman harus menjadi modal utama yang terus ditempa dengan diskusi, pengembangan wacana, serta menggalakkan literasi. Apalagi hari ini kita dihadapkan pada dunia yang serba digital, seakan memaksa tanpa ampun untuk menggunakan teknologi digital di setiap lini kehidupan manusia. PMII sebagai organisasi berbasis pemuda (mahasiswa) juga seharusnya mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut agar tidak tergilas oleh zaman.
Perkembangan dan kecanggihan teknologi informasi harus dijadikan alat baru untuk menunjang gerakan-gerakan yang progresif, kondisi yang memerlukan kreativitas dan inovasi. Jangan sampai warga pergerakan menjadi kaku, kuno, kolot, tidak update, serta tidak kreatif dalam menjalankan sistem kaderisasi yang ada. Kecanggihan teknologi dapat diibaratkan sebagai dua mata pisau, di satu sisi menjadikan manusia sebagai budak teknologi, namun di sisi lain dapat memberikan manfaat luar biasa terutama untuk dijadikan alat dalam sebuah organisasi. Dengan teknologi, citra baik PMII dapat disosialisasikan dan kaderisasi dapat segera dikembangkan. Mengingat kerasnya era sekarang, menjadi baik saja tidak cukup; perlu adanya citra baik.
PMII perlu mengadaptasi diri untuk mengembangkan kapasitas kadernya dengan cara:
1. Merespon cepat tiap permasalahan. Struktur yang lambat membuat kader gelisah dan kehilangan kader bermutu.
2. Mengolah dan menganalisis data. Kecepatan informasi harus diimbangi dengan kemampuan mengolah data untuk pengembangan kapasitas kader dan institusi.
3. Membangun konektivitas antar kader. Konektivitas tanpa batas teritorial dan jenjang institusi, dengan model kaderisasi berbasis kluster rumpun akademik.
4. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Pengurus dan kader harus melahirkan ide-ide terobosan yang disertai tindakan nyata.
PMII harus mengatasi ketakutan yang menghambat kemajuan dan menghadapi perubahan dengan respons cepat, inovatif, dan adaptif. Dengan demikian, PMII dapat tetap relevan dan berdaya saing dalam era disrupsi dan perkembangan teknologi yang cepat. Apakah PMII akan merubah zaman atau hanya dirubah oleh zaman? Jawabannya terletak pada keberanian dan kemampuan organisasi ini untuk bertransformasi.
Hadir jangan hanya menjadi pelengkap, tetapi harus bisa memberikan warna dengan hadir seutuhnya dan sepenuhnya. Essay ini terpantik oleh buah pikir Sahabat Dwi Winarno dalam buku refleksi 60 tahun PMII serta dalam pengantar buku 63 Tahun PMII oleh Sahabat Abdur Rahmad.
Penulis: Hizbul Aulia Indriansyah
0 Komentar