![]() |
Munafik: Matinya PC PMII DIY/Foto: Ach. Khoirir Ridha |
Meskipun demikian konflik politik ditubuh organisasi selalu bergejolak. Tak hanya isyarat kepentingan, persoalan politik praktis kadang terjadi dalam hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain diinternal organisasi yang begitu ambis akan kekuasaan jika boleh dikatakan “manusia adalah serigala bagi sesama manusianya” (Homo Homini Lupus).
Bisa kita refleksikan organisasi PMII contohnya sejak terpilihnya ketu PC DIY hingga sekarang belum melakukan jenjang proses kaderisasi yang mutlak untuk melanjutkan regenerasi sebagaimana yang sudah membudaya di PMII. Mergo Konflik panjang yang tak kunjung usai. Kepentingan untuk menduduki kursi jabatan sebagai Ketua Umum tak lagi bisa dipertanggung jawabkan, pengambilan langkah untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan tak kunjung dituntaskan.
Jelas ketua umum PC PMII saat ini buta akan jenjang kaderisasi, managemen organisasi, pembentukan etikabilitas dan kapabilitas kader yang seharusnya mereka menerima dedikasi penuh di PMII. entah karna kebodohan hakiki atau otaknya yang hanya stag di persoalan “yang penting Cabang ada ditangan saya”, beginilah jika seorang tokoh publik yang tidak memfungsikan keintelektualannya dalam berorganisasi, seperti diungkapkan Antonio Gramci “setiap orang berintelektual tapi tidak semua orang menjalankan fungsi ke-intelektualannya”. Perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan mulai tak lagi ditemukan dimasa kepemimpinan Ketua Cabang saat ini.
Kedudukan Ketua PC yang seharusnya menjadi panutan dan legitimasi bagi bawahannya, malah menjadi cendol dawet yang lembek tak bertaring. Jika hanya sekedar pengalih fungsian kekuasaan tanpa adanya proses kaderisasi yang jelas seharusnya Ketua cabang terpilih saat ini mundur dari kursi jabatannya. Percuma kita mengikuti Mapaba, PKD, dan seterusnya. Jika kenyataannya ketua terpilih tidak bisa meredam konflik dan hanya menumpang nama di tubuh Cabang PMII DIY.
Membicarakan organisasi, jika kepala selaku nahkoda sudah mati maka kapal tersebut akan mudah untuk ditenggelamkan. Munafik jika boleh mengatakan, padahal jika kita mengutip perkataan Gus Dur yang mengatakan “tiada agama tanpa kelompok/masyarakat, tiada masyarakat tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa sang pemimpin “(La dina Illa bi jama’atin wa la tama’ata illa bi imamatin wa la imamata illa bi imamin). Tampak jelas arti seorang pemimpin dalam islam, ia memiliki tanggung jawab besar tentang penegakan sistem organisasi sekaligus menahkodai atas apa yang ia pimpin. Selaras dengan hadist kepemimpinan dan akhlak yang berbunyi setiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban (kullukum ra’in wa kullukum mas’ulin an ra’iyyatihi).
Semenjak terpilih sebagai mandataris ketua cabang belum ada gerakan yang masif. Pikiran dikepala ini selalu bergejolak untuk menanyakan ada apa dengan PC PMII DIY, apakah hanya sebatas kekuasaan belaka tanpa adanya tanggung jawab moral? Timbul pertanyaan-pertanyaan yang bersemayam dalam pikiran ini, yang jelas PC PMII kali ini seperti “wujuduhu ka’adamihi” (Adanya sama seperti ketidakberadaannya). Jika boleh mengatakan bukan hanya tanggung jawab materiil yang ia pertanggung jawabkan namun, tanggung jawab moral terhadap seluruh kader PMII khususnya. Ini sebuah kesalahan yang fatal di kepemimpinan ketua Cabang saat ini. bayangkan orang yang belum dilantik, belum memiliki SK secara kekuatan Hukum, malah ikut melantik. Padahal PMII adalah organisasi tertib administratif dan taat atas aturan dan ketentuan hukum yang berlaku.
Gerakan yang tak begitu terstruktur membuat statisnya organisasi PMII selama satu tahun (mati suri). Konflik berkepanjangan ini yang kemudian membawa dampak atas hilangnya partisipatif para kader PMII untuk memasifkan gerakan di wilayah Yogyakarta. Mereka tak sadar bahwa sejatinya keinginan PMII bukan hanya untuk wadah intelektualitas belaka namun juga sebagai wadah religius nasionalis yang dinaungi oleh Ideologi Ahlussunnah.
Jika persoalan politik praktis dibawa terus menerus dalam tubuh organisasi maka akan ada degradasi terhadap organisasi tersebut, jika pola berorganisasi ketua umum PC hanya persoalan kekuasaan maka jelas jika politik yang disampaikan oleh Seta Basri dalam buku pengantar Ilmu Politik mengatakan “kekuasaan sosial yang dipaksakan”, sudah tahu bodoh memaksakan diri untuk memimpin organisasi PMII sekalas cabang. Paradigma Kritis Transformatif saat Ini menjadi Paradigma Stagnan Statis. Boleh berkontestasi asal ingat jati diri, boleh berkuasa asal jangan lupa tanggung jawabnya.
Penulis: Ach. Khoirir Ridha, PMII Ashrambangsa
Keterangan: Ini merupakan tulisan opini yang ditulis oleh kader PMII. Adapun hak cipta tulisan ini ada pada penulisnya.
0 Komentar