![]() |
| Divan Ade Prayogo, Ketua 2 PC PMII Lamongan. [Foto: Aktivis Autentik] |
Pertanyaannya: mengapa negeri yang subur ini belum mandiri secara energi?. Salah satu jawabannya terletak pada etanol, bahan bakar alternatif yang berasal dari fermentasi bahan alami seperti tebu, jagung, dan singkong. Dalam pandangan ilmiah, etanol mampu meningkatkan pembakaran, menurunkan emisi, dan menjadi langkah menuju energi bersih. Tapi di sisi lain, kita tidak boleh menutup mata: sebagian besar bahan baku etanol adalah pangan rakyat. Di sinilah dilema muncul energi atau pangan?
Sebagai kader PMII, kita diajarkan untuk memandang persoalan bukan dari satu sisi saja. Nilai ta‘addul (berimbang) dan tasawur (menyeluruh) menuntun kita melihat bahwa kemandirian energi tidak boleh dibangun dengan mengorbankan hak rakyat atas pangan. Ketika singkong dan jagung berubah menjadi bahan bakar, maka ada risiko harga pangan naik, industri kecil terpukul, dan petani kehilangan keseimbangan antara ekonomi dan kebutuhan dasar. Etanol memang menawarkan masa depan hijau, tapi masa depan itu hanya bisa diraih bila bangsa ini berdaulat secara teknologi. Indonesia harus mengembangkan bioetanol generasi kedua etanol dari limbah pertanian, bukan dari bahan pangan utama. Dengan begitu, limbah seperti jerami, ampas tebu, dan tongkol jagung tidak lagi dibuang, tapi menjadi sumber energi baru.
Di beberapa negara seperti Brasil dan Amerika Serikat, pengembangan bioetanol generasi kedua telah dilakukan dengan memanfaatkan limbah pertanian, seperti ampas tebu (bagasse) dan batang jagung. Teknologi ini mampu meningkatkan efisiensi energi hingga 50 persen tanpa mengganggu pasokan pangan (Correa, 2023). Perusahaan energi GranBio memproduksi puluhan juta liter etanol dari ampas tebu setiap tahun — memanfaatkan limbah yang sebelumnya dibuang begitu saja. Sementara di Uni Eropa, kebijakan Renewable Energy Directive II menargetkan bahan bakar berbasis limbah menjadi 3,5 persen dari total konsumsi transportasi pada tahun 2030 (European Commission, 2024). Uni Eropa pun telah menargetkan peningkatan penggunaan bioetanol berbasis limbah sebagai bagian dari transisi energi hijau. Di sinilah letak ta’dib (pendidikan ekologis) yang seharusnya ditanamkan: menjaga bumi dengan ilmu dan inovasi, bukan dengan keserakahan produksi.
Ini ada sebuah refleksi bagi Kader PMII terlebih saya penulis divan ade prayoga yang hari ini di amanahi sebagai ketua 2 bidang eksternal, dimana kita harus memandang energi bukan hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi sebagai amanah peradaban. Kemandirian energi adalah bagian dari jihad intelektual menegakkan martabat bangsa agar tidak selamanya bergantung pada impor dan kepentingan asing. Sebab, bangsa yang tidak mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri, akan terus bergantung pada arah pasar, bukan pada kehendak rakyatnya.
Penulis: Divan Ade Prayogo, Ketua 2 PC PMII Lamongan.
.jpg)
0 Komentar