Warta

Aswaja Bukan Label: Menjaga Epistemologi PMII dari Relativisme Akidah

Moh. Fakhri As Shiddiqy, Ketua Umum PMII Rayon Fakultas Hukum, Komisariat Universitas Islam Jember. [Foto: Aktivis Autentik]
Aktivis Autentik - PMII kerap menegaskan dirinya sebagai organisasi yang menjadikan Ahlussunnah wal Jamaah bukan hanya identitas, tetapi juga manhaj al-fikr (kerangka berpikir). Namun, realitas di lapangan menunjukkan fenomena yang meresahkan: sebagian kader memaknai kebebasan berpikir sebagai kebebasan melepas akar tradisi teologis Ahlussunnah, lalu mengadopsi logika liberal-Barat tanpa filter epistemik.

Di titik inilah muncul kerancuan. Dengan dalih pluralisme dan toleransi, sebagian bahkan berani menyimpulkan bahwa seluruh agama sama benarnya, atau menganggap akidah eksklusif umat Islam sebagai bentuk intoleransi. Padahal, tanpa pijakan teologis yang kukuh, jargon toleransi berubah menjadi relativisme akidah. Al-Qur’an telah mengingatkan secara tegas:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Maka bertanyalah kepada ahlinya jika kalian tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)

Ayat ini bukan sekadar dorongan mencari ilmu, melainkan penegasan pentingnya otoritas keilmuan dalam menjaga sanad dan kebenaran penafsiran. Tradisi Islam sejak awal menempatkan ulama sebagai rujukan metodologi, bukan opini bebas sebagai standar kebenaran.

Yang ironis, sebagian oknum kini membungkus gagasan liberal dengan nama Aswaja. Padahal, Wahabi pun mengaku Aswaja, meski faktanya jauh dari tradisi tasawuf, sanad keilmuan, dan penghormatan terhadap turats. Jika narasi “mengaku Aswaja” tanpa standar metodologis ini dibiarkan, maka PMII justru akan kehilangan fondasi yang membedakan dirinya dengan gerakan lain.

PMII lahir dari rahim Nahdlatul Ulama; sebuah organisasi yang menjaga warisan keilmuan ulama, meski di tubuh NU pun ada segelintir individu yang mencoba mengusung gagasan liberal. Namun, kewujudan oknum tidak lantas mengubah garis teologis organisasi. Prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-aslah tetap tegak: merawat tradisi yang sahih sembari mengolah pembaruan yang maslahat, bukan pembaruan yang mencabut akar.

Fenomena lebih ekstrem kembali muncul ketika ada media kader PMII yang secara eksplisit membolehkan kader putri tidak berhijab atas nama kebebasan ekspresi. Sikap semacam ini melampaui ijtihad, karena meninggalkan kesepakatan syariat yang telah ma’lum min ad-din bi ad-dharura, sesuatu yang diketahui wajibnya dalam agama secara pasti. Kebebasan akademik tidak boleh menjadi pintu untuk menabrak perkara yang sudah menjadi konsensus ulama (ijma’).

Aswaja bukan baju longgar yang dapat dipakai untuk membungkus ideologi mana pun. Ia sistem epistemik lengkap: sanad keilmuan, disiplin fikih, akidah, dan tasawuf. Kader PMII membutuhkan bukan hanya keberanian berpikir, tetapi juga kerendahan ilmiah untuk merujuk pada otoritas ulama, sebagaimana diperintahkan wahyu. Di tengah euforia intelektual kampus, jangan sampai rasionalitas menjadi dalih untuk meminggirkan wahyu; karena akal tanpa wahyu hanya melahirkan kesombongan intelektual, bukan kejernihan kebenaran.

Menjaga Aswaja bukan romantisme masa lalu, melainkan memastikan arah masa depan PMII tidak melenceng dari prinsip dasar: membangun insan intelektual yang merdeka secara nalar, namun tetap tunduk pada otoritas ilmu dan iman. Di situlah marwah kader PMII berdiri: teguh di atas tradisi, luwes dalam metodologi, dan kukuh menjaga akidah dari infiltrasi pemikiran yang menyesatkan.

Penulis: Moh. Fakhri As Shiddiqy, Ketua Umum PMII Rayon Fakultas Hukum, Komisariat Universitas Islam Jember. 

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close