![]() |
| Program Makan Bergizi Gratis (MBG). [Foto: Medium.com] |
Refleksi Kritis atas Program Pemerintah yang Mengabaikan Hak Dasar Anak Bangsa
Aktivis Autentik - Di tengah sorotan publik dan tekanan politik 2025, Indonesia menghadapi program ambisius: Makan Bergizi Gratis (MBG), yang digembar-gemborkan sebagai solusi nasional untuk mengatasi gizi buruk dan stunting. Namun, di balik itu, muncul pertanyaan fundamental: apakah program ini benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar sandiwara politik yang menutupi kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak dasar anak bangsa? Program sosial atau sandiwara politik?
MBG resmi diluncurkan pada Januari 2025 dengan tujuan menyediakan makanan bergizi bagi sekitar 83 juta warga, termasuk anak-anak dan ibu hamil. Namun, di lapangan, program ini menghadapi berbagai tantangan serius. Sejak peluncurannya, tercatat lebih dari 70 insiden keracunan massal yang melibatkan sekitar 6.000 orang, termasuk lebih dari 1.000 anak-anak di Jawa Barat (Reuters, 2025).
Presiden membela program ini dengan menyatakan bahwa insiden keracunan hanya mencakup 0,00017% dari total distribusi. Namun, angka statistik tersebut tidak mampu menutupi realitas di lapangan: anak-anak yang jatuh sakit, orang tua yang khawatir, dan sektor pendidikan yang terabaikan. Program ini terlihat lebih seperti sandiwara politik daripada upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kasus keracunan massal di Sukoharjo, Sukabumi, dan sejumlah daerah lain menunjukkan kelemahan sistem distribusi dan pengawasan makanan. Faktor penyebabnya antara lain kualitas bahan makanan yang tidak terjamin, prosedur pengolahan yang tidak standar, serta minimnya sertifikasi kesehatan pada dapur pengolahan (Reuters, 2025).
Selain itu, transportasi dan penyimpanan makanan yang buruk menjadi risiko keracunan. Lebih dari 40 dapur yang tidak memenuhi standar telah ditutup, namun jumlah ini jelas tidak sebanding dengan total dapur yang terlibat dalam program.
Ahli gizi terkemuka, dr. Tan Shot Yen, memberikan kritik tajam terhadap menu MBG yang dianggap tidak sesuai prinsip gizi seimbang dan budaya lokal. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Komisi IX DPR RI pada September 2025, dr. Tan menyoroti keberadaan menu seperti burger dan spaghetti. Ia menegaskan, “Oh my God, masa burger dan spaghetti?” menekankan bahwa menu itu tidak mencerminkan pangan lokal yang lebih bergizi.
Menurutnya, penggunaan bahan lokal seperti ikan kuah asam di Papua atau Kapurung di Sulawesi seharusnya lebih diutamakan, karena selain lebih bergizi juga mendukung ketahanan pangan lokal (Detik.com, 2025). Selain menu yang tidak sesuai, dr. Tan menyoroti kurangnya pengawasan dalam penyajian makanan, menekankan penerapan standar keamanan pangan yang ketat, seperti Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), untuk mencegah keracunan massal yang sudah terjadi di berbagai daerah (Liputan6.com, 2025).
Di tengah kontroversi MBG, sektor pendidikan justru menjadi korban. Anggaran pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas utama tergerus untuk mendanai program yang kontroversial ini. Padahal, pendidikan adalah fondasi utama bagi masa depan bangsa. Indonesia masih menghadapi tantangan besar: rendahnya tingkat literasi, fasilitas pendidikan yang tidak memadai, dan kurangnya pelatihan bagi tenaga pendidik. Alih-alih fokus pada perbaikan pendidikan, perhatian pemerintah banyak tersedot pada program yang penuh kontroversi ini.
MBG seharusnya menjadi langkah positif dalam mengatasi masalah gizi. Namun, implementasinya yang buruk, ditambah pengabaian sektor pendidikan, menunjukkan prioritas yang keliru. Apakah kita ingin memiliki generasi yang sehat tetapi bodoh, atau generasi yang cerdas namun kelaparan?
Menurut Paulo Freire, pendidikan adalah “senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.” Namun, bagaimana mungkin anak-anak bisa bersenjata jika perhatian negara hanya tersedot pada distribusi makanan yang salah sasaran dan berisiko kesehatan? Pemerintah perlu segera mengevaluasi program ini, memastikan distribusi makanan sesuai standar kesehatan, dan yang terpenting, tidak mengorbankan pendidikan.
Anak-anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak sekaligus gizi yang memadai, tanpa harus memilih di antara keduanya. Program Makan Bergizi Gratis seharusnya menjadi bukti komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, implementasinya yang buruk, menu yang tidak sesuai, dampaknya terhadap kesehatan, dan pengabaian pendidikan menunjukkan bahwa program ini lebih mirip sandiwara politik.
“MBG diberikan, pendidikan diabaikan; masa depan bangsa terancam runtuh, bila kebijakan hanya menjadi sandiwara politik.”
Penulis: David Yogi Prastiawan, Koordinator Bidang Kaderisasi PR Avicenna, Komisariat UIN SATU Tulungagung.
.jpg)
0 Komentar