Warta

Ketika Negara Sibuk Urus Bendera One Piece, Tetapi Abai pada yang Nyata

Muh. Rafli Rizaldi. [Foto: Aktivis Autentik]
Aktivis Autentik - Agustus. Bulan semangat kemerdekaan seharusnya menyala paling terang. Bulan di mana rakyat mengibarkan merah putih dengan bangga, memperingati perjuangan dan pengorbanan para pendiri bangsa. Tapi tahun ini, nuansa kemerdekaan justru dibayangi oleh polemik yang tak terduga negara sibuk mengurus bendera One Piece bendera fiksi dari dunia anime yang digemari anak muda. Sementara itu, suara rakyat yang menjerit karena beban hidup terus diabaikan.

Apakah negara sedang kehilangan arah?

Saat bendera fiktif dianggap lebih mengganggu daripada kelaparan, pengangguran, korupsi, atau anak-anak yang belajar di ruang kelas yang nyaris roboh?

Sebuah ironi tajam tergambar di bulan yang seharusnya menjadi momen refleksi dan perayaan kebebasan, negara justru menunjukkan wajah otoriter terhadap simbol-simbol kebudayaan populer. Bukankah kemerdekaan juga tentang kebebasan berpikir, berekspresi, dan berimajinasi?

Kita seperti lupa pada nilai-nilai toleransi yang pernah dijaga oleh para pemimpin besar bangsa ini. Gus Dur, Presiden keempat RI yang dikenal sebagai bapak pluralisme, beliau mengatakan, "Silakan kibarkan bendera apa pun, asal tidak lebih tinggi dari merah putih." Ucapan itu bukan hanya tentang kain dan tiang, tetapi tentang cara negara melihat warganya dengan kepercayaan, bukan kecurigaan.

Namun kini, alih-alih menjadi pengayom yang menghargai kreativitas, negara tampil seolah tersinggung oleh hal-hal sepele, padahal di saat yang sama abai pada problem nyata. Sementara aparat sibuk menertibkan bendera bajak laut, rakyat masih harus bertarung dengan harga sembako yang melambung, sistem pendidikan yang diskriminatif, dan akses kesehatan yang timpang. Apa artinya kemerdekaan bila negara lebih cepat menindak simbol fiksi daripada menyelesaikan ketidakadilan nyata?

Apalagi ketika ini terjadi di bulan kemerdekaan. Simbol dan perayaan hanyalah kulit luar bila esensi dari kemerdekaan itu sendiri tidak dirasakan rakyat. Jangan sampai bendera merah putih hanya menjadi hiasan di tiang, tetapi kosong makna di hati.

Negara seharusnya hadir untuk meneguhkan nilai-nilai kemerdekaan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan kebebasan yang bertanggung jawab. Bukan malah sibuk menjaga simbolisme kosong yang justru mencederai semangat demokrasi. Kita tidak butuh negara yang alergi terhadap ekspresi rakyatnya. Kita butuh negara yang peka terhadap luka-luka yang di rasakan rakyatnya.

Jika pemerintah bisa secepat itu mengurus bendera One Piece, maka seharusnya lebih cepat pula merespons harga beras yang naik, petani yang gagal panen, atau nelayan yang tak bisa melaut karena BBM Melambung tinggi. Tapi sampai hari ini, yang tampak hanyalah ketimpangan perhatian. Sekali lagi "Ketimpangan Perhatian".

Maka, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Di tengah sorotan publik terhadap sikap negara dalam menyikapi simbol-simbol fiksi seperti bendera One Piece, sudah saatnya pemerintah melakukan refleksi mendalam terhadap arah kebijakan dan pendekatannya terhadap ekspresi budaya masyarakat, khususnya generasi muda.

Fokus pemerintah seharusnya tidak lagi tersandera oleh simbolisme yang tidak substansial. Pengalihan perhatian pada hal-hal yang bersifat reaktif terhadap budaya populer justru berpotensi menjauhkan negara dari problematika nyata yang lebih mendesak. Simbol fiksi bukanlah ancaman ideologis, ia merupakan manifestasi kreativitas dan keterhubungan emosional generasi muda terhadap nilai-nilai petualangan, kebebasan, dan solidaritas.

Pemerintah perlu menunjukkan keberpihakan yang lebih tegas terhadap isu-isu konkret yang dihadapi rakyat sehari-hari. Ketika harga kebutuhan pokok melonjak, layanan kesehatan tidak merata, dan akses pendidikan masih menjadi persoalan struktural, maka kehadiran negara seharusnya dirasakan melalui solusi nyata, bukan sekadar pengawasan terhadap ekspresi visual yang tidak berdampak langsung pada stabilitas nasional.

Dalam konteks ini, ruang dialog antara negara dan masyarakat menjadi sangat penting. Negara tidak cukup hanya hadir dalam bentuk regulasi dan penindakan, melainkan juga harus membuka kanal komunikasi yang sehat dan membangun literasi budaya khususnya dalam menghadapi dinamika dunia digital dan hiburan yang begitu cepat berkembang. Generasi muda tidak bisa terus-menerus dicurigai hanya karena ekspresi simbolik mereka berbeda dari narasi formal negara.

Makna kemerdekaan pun perlu dimaknai ulang, tidak sebatas pada perayaan dan seremoni, tetapi harus hadir dalam kebijakan publik yang menjamin kehidupan yang layak bagi setiap warga negara. Hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, dan kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab harus menjadi indikator sejati bahwa negara berjalan di jalur kemerdekaan yang substansial.

Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Silakan kibarkan bendera apa pun, asal tidak lebih tinggi dari merah putih.” Sebuah pernyataan sederhana namun penuh makna bahwa negara seharusnya berpijak pada kepercayaan terhadap rakyatnya, bukan dilandasi oleh rasa curiga. Pemerintah yang kuat bukanlah yang sibuk menindak simbol, melainkan yang mampu menjawab kebutuhan rakyat dengan empati dan ketepatan.

Hanya dengan orientasi kebijakan yang berpihak pada kehidupan nyata rakyat, negara dapat benar-benar menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar simbol, melainkan kenyataan yang hidup dalam keseharian masyarakatnya.

Penulis: Muh. Rafli Rizaldi.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close