Warta

Bukan Lagi Tentang Siapa, Tapi Tentang Apa?

Ali Imron Ramdhan, Ketua PK PMII Al-Amin Indramayu. [Foto: Aktivis Autentik]
Aktivis Autentik - Sepertiga malam. Jam dinding berdetak pelan, dan hanya suara kipas angin yang terdengar menyisir kesunyian. Aku duduk sendirian, ditemani secangkir kopi gula aren yang kubuat sendiri—tanpa takaran pasti, hanya feeling dan sedikit harapan biar rasanya pas.

Aku diam. Bukan karena tak ada yang dipikirkan, justru karena terlalu banyak. Salah satunya: soal organisasi yang selama ini kusebut rumah kedua. PMII.

Di luar, dunia terus bergerak. Isu sosial berubah cepat, teknologi berkembang, masyarakat semakin melek akan hak dan keadilan. Tapi di dalam, di ruang-ruang tempat kita berkumpul dan berdiskusi, entah kenapa semuanya terasa... begitu-begitu saja.

___

Romantisme Tradisi yang Terlalu Lama Dipegang

Kita terlalu cinta pada romantisme masa lalu. Terlalu sering mendongengkan sejarah, menyebut nama-nama besar pendahulu kita, mengulang narasi tentang perjuangan, konsolidasi, ideologi, dan perjuangan mahasiswa. Semua itu penting, ya. Tapi apakah cukup?

Apakah kita masih bisa terus hidup dari cerita kejayaan masa lalu, sementara realita hari ini menuntut jawaban-jawaban baru?

Yang bikin aku geleng-geleng adalah, seringkali organisasi kita lebih sibuk mikirin “siapa yang nanti jadi ketua?”, “siapa yang didukung senior?”, atau “siapa yang punya backing-an kuat?” daripada bertanya: “Apa yang bisa kita kerjakan?” atau “Apa masalah yang sedang dihadapi masyarakat sekitar kita dan bagaimana kita bisa terlibat?”

Padahal, perjuangan seharusnya tidak tentang siapa yang tampil di depan, tapi tentang apa yang dibawa ke tengah.

___

Dari Seremoni ke Substansi

Kita sudah terlalu sering membuat acara. Diskusi panel, pelatihan kepemimpinan, seminar nasional, launching buku, malam puncak hari lahir, dan seterusnya. Tapi, berapa banyak yang benar-benar berdampak?

Kegiatan kadang terasa seperti formalitas—asal jalan, asal ramai, asal upload di media sosial. Tapi isi dan arah gerakannya? Gak jelas.

Apakah itu salah? Tidak sepenuhnya. Tapi kalau itu saja yang terus dilakukan tanpa evaluasi mendalam, lama-lama kita hanya akan jadi organisasi yang sibuk mengisi kalender kegiatan, tanpa benar-benar hadir sebagai solusi bagi masalah sekitar.

PMII- dan mungkin banyak organisasi mahasiswa lain—butuh lebih dari sekadar regenerasi struktural. Kita perlu transformasi kultural. Kita butuh geser fokus:

Dari seremoni ke solusi,

Dari simbol ke substansi,

Dari “siapa yang berkuasa” ke “apa yang bisa diperjuangkan.”

___

Senioritas, Lobi, dan Ruang yang Tak Inklusif

Satu hal yang sering bikin generasi muda di organisasi kehilangan semangat adalah ketika ruang geraknya disempitkan oleh tradisi senioritas dan politik internal.

Yang muda disuruh aktif, tapi ketika bersuara, dibilang “belum saatnya.”

Yang ingin membuat gebrakan, dianggap “tidak sopan pada tradisi.”

Yang punya ide segar, dicurigai karena “tidak mengikuti pakem.”

Padahal dunia berubah. Cara berpikir kita juga ikut berkembang. Jika kita terlalu kaku menjaga tradisi tanpa ruang improvisasi, bagaimana bisa organisasi ini tetap hidup?

Senior bukan hanya untuk dikenang, tapi juga harus berani memberi ruang. Bukan ruang basa-basi, tapi ruang partisipasi yang nyata.

___

Di Sepertiga Malam, Aku Bertanya Lagi...

Kopi gula arenku tinggal seteguk. Rasanya sudah agak pahit, tapi di sanalah letak kenikmatannya. Mungkin seperti kenyataan yang selama ini kita hindari: bahwa organisasi kita sedang butuh arah baru.

Aku nggak bilang kita harus tinggalkan semuanya. Tapi mari kita jujur. Jangan lagi terlalu sibuk bertanya, “Siapa yang pantas jadi pemimpin?” tapi mulai serius bertanya, “Apa yang seharusnya kita lakukan bersama?”

Jangan lagi hanya bicara soal siapa yang punya akses, siapa yang deket sama senior, siapa yang bisa ‘mengamankan’ posisi. Tapi bicarakan juga: apa yang bisa dikerjakan untuk menjawab persoalan di kampus, di masyarakat, bahkan di dalam tubuh organisasi kita sendiri.

___

Karena Esok Tak Bisa Dihadapi dengan Cara Lama

Kita hidup di zaman yang tidak menunggu siapa pun. Kalau kita tidak menyesuaikan diri, tidak berani mengubah cara kerja, pola pikir, dan arah gerakan—maka jangan salahkan siapa-siapa ketika organisasi ini makin dijauhi oleh generasi muda, makin kehilangan makna, dan makin terlihat sebagai nama besar tanpa isi.

Dan percayalah, organisasi yang besar bukanlah yang punya sejarah panjang saja, tapi yang mampu berevolusi tanpa kehilangan jiwanya.

___

Dari Siapa ke Apa? 

Jadi, malam ini, sebelum benar-benar memejamkan mata, aku putuskan satu hal:

Aku nggak lagi terlalu tertarik dengan pembicaraan soal “siapa” yang akan duduk di kursi ketua, atau “siapa” yang bakal menang di forum besar nanti.

Yang lebih menarik adalah:

Apa yang dia bawa?

Apa gagasannya?

Apa yang mau diubah?

Apa yang bisa dilakukan bersama?

Karena organisasi ini seharusnya bukan tentang siapa yang paling dikenal, tapi apa yang bisa kita wariskan untuk generasi berikutnya.

Dan kalau kamu masih sibuk mempertanyakan “siapa kamu di organisasi?”

Mungkin saatnya kamu juga mulai bertanya:

“Apa yang sudah kamu bawa untuk organisasi ini?”

Penulis: Ali Imron Ramdhan, Ketua PK PMII Al-Amin Indramayu.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close