![]() |
M. Sahrozzi, Kader PMII Jombang. [Foto: Aktivis Autentik] |
Reaksi pemerintah Indonesia terhadap fenomena bendera One Piece ini dapat digambarkan sebagai ketakutan yang tidak proporsional. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Budi Gunawan dengan tegas menyatakan bahwa pengibaran bendera bajak laut tersebut merupakan bentuk provokasi yang berpotensi merendahkan martabat simbol negara. Lebih ekstrem lagi, pejabat negara seperti yang dikutip dari berbagai sumber menilai aksi ini sebagai bagian dari makar dan gerakan yang bertujuan menjatuhkan pemerintah. Menteri HAM Natalius Pigai bahkan menegaskan bahwa negara berhak melarang pengibaran bendera tersebut sebagai bentuk menjaga kedaulatan.
Narasi yang dibangun pemerintah ini menunjukkan sebuah pola pikir yang mengkhawatirkan. Sebuah bendera fiksi dari dunia hiburan yang dalam konteks aslinya justru melambangkan kebebasan, persahabatan, dan perjuangan melawan ketidakadilan, tiba-tiba dinarasikan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara. Hal ini mencerminkan bagaimana pemerintah Indonesia cenderung melihat setiap bentuk ekspresi yang tidak sejalan dengan narasi resmi sebagai potensi ancaman, bahkan ketika ekspresi tersebut berasal dari dunia hiburan yang tidak memiliki agenda politik eksplisit.
Yang menarik dari fenomena ini adalah kontras antara realitas dan persepsi pemerintah. Dalam dunia One Piece, Jolly Roger bukanlah simbol destruktif atau anti-nasionalisme. Sebaliknya, bendera tersebut melambangkan semangat petualangan, perjuangan melawan penindasan, dan solidaritas antar kawan seperjuangan. Namun, pemerintah Indonesia tampaknya tidak mampu atau tidak mau memahami konteks budaya populer ini, dan justru memilih untuk menginterpretasikannya sebagai bentuk perlawanan politik yang membahayakan.
Paradoks semakin jelas ketika kita melihat bahwa pemerintah yang mengklaim menghormati kebebasan berekspresi justru menunjukkan intoleransi terhadap bentuk ekspresi yang paling tidak berbahaya. Di satu sisi, Indonesia mengaku sebagai negara demokratis yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun di sisi lain, ketika masyarakat mengekspresikan diri melalui simbol budaya populer yang bahkan tidak memiliki konotasi politik langsung, pemerintah langsung bereaksi dengan tuduhan makar dan ancaman tindakan hukum.
Respons yang berlebihan ini juga mengungkap kerentanan psikologis pemerintah Indonesia. Sebuah pemerintahan yang percaya diri dan kuat seharusnya tidak akan merasa terancam oleh pengibaran bendera anime. Faktanya, reaksi yang begitu defensif justru menunjukkan bahwa pemerintah mungkin menyadari adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai kebijakan, sehingga setiap bentuk ekspresi yang sedikit saja menyimpang dari narasi resmi langsung dianggap sebagai ancaman.
Data dari berbagai sumber media menunjukkan bahwa fenomena pengibaran bendera One Piece ini sebenarnya merupakan bentuk ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kondisi sosial-politik Indonesia. Namun, alih-alih merespons dengan introspeksi atau dialog, pemerintah justru memilih jalan represif dengan melabeli aksi tersebut sebagai provokasi dan makar. Hal ini mencerminkan mentalitas pemerintahan yang lebih memilih menyalahkan rakyat daripada mengevaluasi diri sendiri.
Ironisnya, dengan melarang dan mendramatisasi fenomena bendera One Piece ini, pemerintah justru memberikan perhatian yang lebih besar terhadap aksi tersebut. Apa yang mungkin hanya akan menjadi tren singkat di media sosial, kini menjadi isu nasional yang diperdebatkan di berbagai forum. Efek Streisand ini menunjukkan bahwa pemerintah gagal memahami dinamika komunikasi modern dan justru memperkuat pesan yang ingin mereka cegah.
Dari perspektif hukum, sesungguhnya tidak ada dasar yang kuat untuk melarang pengibaran bendera One Piece. Wakil Menteri Dalam Negeri sendiri menyatakan bahwa tidak ada larangan terkait pengibaran bendera tersebut, kecuali bendera-bendera organisasi yang dilarang atau ideologi terlarang. One Piece jelas bukan organisasi terlarang, melainkan karya hiburan yang legal dan populer di seluruh dunia. Namun, tekanan politik dari pejabat lain tampaknya lebih kuat daripada pertimbangan hukum yang rasional.
Ketakutan pemerintah terhadap bendera One Piece juga mencerminkan sebuah krisis kepercayaan diri budaya. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa, seharusnya tidak merasa terancam oleh budaya populer dari negara lain. Sebaliknya, fenomena ini bisa dijadikan momentum untuk merefleksikan mengapa masyarakat lebih tertarik dengan simbol dari anime Jepang daripada simbol-simbol budaya lokal.
Lebih jauh lagi, respons pemerintah ini menunjukkan ketidakmampuan untuk membedakan antara kritik konstruktif dan ancaman nyata. Pengibaran bendera One Piece, bahkan jika dimaksudkan sebagai bentuk protes, adalah bentuk ekspresi yang damai dan tidak mengancam siapa pun. Tidak ada kekerasan, tidak ada hasutan, dan tidak ada agenda separatis. Yang ada hanyalah ekspresi simbolik yang bahkan masih berada dalam ranah legal dan konstitusional.
Narasi pemerintah yang menggambarkan pengibaran bendera One Piece sebagai gerakan pemecah belah bangsa juga menunjukkan pemahaman yang dangkal tentang persatuan nasional. Persatuan yang sejati tidak dibangun melalui penyeragaman paksa atau pelarangan terhadap ekspresi budaya, melainkan melalui penghormatan terhadap keberagaman dan kebebasan berekspresi. Dengan melarang dan mendiskreditkan aksi yang sebenarnya tidak berbahaya, pemerintah justru menciptakan polarisasi yang tidak perlu.
Yang paling mengkhawatirkan dari fenomena ini adalah bagaimana pemerintah dengan mudah melabeli ekspresi masyarakat sebagai "radikal" tanpa dasar yang memadai. Label radikalisme seharusnya digunakan untuk menggambarkan ideologi atau tindakan yang benar-benar mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan untuk mengkriminalisasi ekspresi budaya populer. Penggunaan label ini secara sembarangan menunjukkan tendensi autoritarianisme yang mengkhawatirkan.
Fenomena bendera One Piece juga mengungkap bagaimana pemerintah Indonesia masih terjebak dalam paradigma lama yang melihat setiap bentuk perbedaan sebagai ancaman. Dalam era digital dan globalisasi, masyarakat memiliki akses terhadap berbagai bentuk budaya dan ekspresi. Pemerintah yang cerdas seharusnya mampu mengakomodasi keberagaman ini, bukan malah merasa terancam olehnya.
Akhirnya, ketakutan berlebihan pemerintah terhadap bendera One Piece ini menjadi cermin dari krisis legitimasi yang mungkin sedang dialami. Sebuah pemerintahan yang memiliki dukungan kuat dari rakyat tidak akan merasa terancam oleh simbol-simbol budaya populer. Sebaliknya, reaksi yang defensif dan represif justru menunjukkan kekhawatiran internal tentang stabilitas dan penerimaan masyarakat. Alih-alih melarang dan mengkriminalisasi, pemerintah seharusnya menggunakan fenomena ini sebagai kesempatan untuk introspeksi dan memperbaiki hubungan dengan masyarakat. Karena pada akhirnya, kekuatan sejati sebuah negara terletak pada kemampuannya untuk menghormati dan mengakomodasi keberagaman ekspresi rakyatnya, bukan pada kemampuannya untuk merepresi setiap bentuk perbedaan.
Penulis: M. Sahrozzi, Kader PMII Jombang.
0 Komentar