Warta

Kemunduran Organisasi Kaderisasi di Tengah Gempuran Budaya Influencer

Fakih Mukodam, Sekretaris II PC PMII Kab. Bogor/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) selama ini dikenal sebagai ruang pembinaan kader yang kokoh. Dalam perjalanannya, organisasi ini telah memainkan peran penting sebagai tempat lahirnya intelektual, pemimpin, dan aktivis yang berkomitmen pada nilai keislaman, kebangsaan, serta pembelaan terhadap kaum marginal. Proses kaderisasi formal dijalankan melalui tahapan sistematis: MAPABA, PKD, PKL, hingga PKN. Namun di tengah arus perubahan sosial dan teknologi, pola pembinaan seperti ini menghadapi tantangan baru yang tidak bisa diabaikan, yakni dominasi budaya influencer.

Mahasiswa masa kini hidup dalam ekosistem digital yang membentuk cara pandang dan orientasi hidup mereka. Sosok yang mereka kagumi tak lagi berasal dari ruang-ruang diskusi atau pelatihan kaderisasi, melainkan dari layar ponsel yang menampilkan selebgram, YouTuber, atau influencer TikTok dan lain-lain. Dalam konteks ini, data Katadata Insight Center (2022) mencatat bahwa lebih dari separuh generasi Z lebih percaya pada opini influencer ketimbang tokoh agama atau pimpinan organisasi dalam menanggapi isu publik.

Situasi ini jelas berdampak terhadap dinamika kaderisasi di tubuh PMII. Sejumlah komisariat mulai menyuarakan kegelisahan soal menurunnya semangat kader untuk mengikuti jenjang pelatihan secara utuh. Banyak di antara mereka lebih tertarik mengejar eksistensi digital atau terlibat dalam aktivitas yang lebih pragmatis secara sosial. Semangat perjuangan ideologis pun mulai tersisihkan oleh logika algoritma.

Di sisi lain, meski secara struktural PMII tetap menjadi pilar moral dan intelektual di kampus-kampus, namun daya tariknya mulai tergeser oleh budaya instan yang ditawarkan media sosial. Laporan dari internal PMII di Jawa Timur tahun 2023 menunjukkan bahwa jumlah kader yang melanjutkan dari PKD ke PKL mengalami penurunan hingga 35% dalam lima tahun terakhir. Hal ini menandakan adanya kesenjangan antara semangat ideal kaderisasi dan realitas psikososial generasi hari ini.

Namun menyalahkan kader muda semata tentu tidak adil. Yang perlu dikaji secara mendalam adalah sejauh mana pendekatan kaderisasi saat ini mampu menjawab tantangan zaman. Apakah masih relevan? Atau justru terjebak dalam rutinitas yang tidak lagi menggugah? Jika metode yang digunakan tetap konvensional tanpa pembaruan substansi, maka tak heran bila kader merasa proses ini stagnan dan tak lagi menggairahkan.

Oleh karena itu, organisasi seperti PMII dituntut untuk berani melakukan transformasi. Bukan dengan meniru gaya hidup influencer, melainkan dengan menyampaikan nilai-nilai luhur Islam dan nasionalisme dalam format yang lebih komunikatif dan adaptif. Media sosial bisa dijadikan sarana untuk menyebarkan pemikiran progresif, membangun diskusi bermakna, dan memperluas jangkauan ideologis secara kreatif.

PMII juga perlu mengembangkan model kaderisasi yang tidak hanya fokus pada kegiatan yang sifatnya seremonial semata, melainkan juga pada pendampingan intelektual dan sosial yang berkelanjutan. Pembentukan komunitas pemikir, ruang literasi digital, dan pelatihan kepemimpinan kontekstual bisa menjadi alternatif yang relevan di era sekarang.

Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, maka kaderisasi akan berisiko menjadi formalitas semata. Dan PMII, dengan sejarah panjangnya dalam mencetak tokoh-tokoh penting bangsa, bisa kehilangan esensinya. tergeser oleh narasi digital yang menghibur tapi minim makna.

Penulis: Fakih Mukodam, Sekretaris II PC PMII Kab. Bogor.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close