![]() |
Abdulloh Muchlis, Pengurus Biro Keilmuan PMII Komisariat Raden Mas Said/Foto: Aktivis Autwntik |
Bukan maksud menggurui, sebelum lebih jauh, bagi yang belum ‘ngeh’, Cipayung Plus adalah: forum lintas organisasi kemahasiswaan nasional yang tujuan didirikannya guna merawat persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan. Forum ini beranggotakan organisasi-organisasi mahasiswa seperti: GMNI, HMI, PMII, IMM, PMKRI, GMKI, dan KAMMI. Forum ini berdiri atau terbentuk pada tanggal 21 hingga 22 Januari 1972 di Cipayung, Jawa Barat. Dari pertemuan inilah, lahir sebutan “Kelompok Cipayung” dan tanggal 22 Januari diperingati sebagai hari kelahirannya. Lebih detailnya silahkan baca sendiri sejarah dan gerakannya.
Kembali ke topik, ringkasan berita Tempo tersebut kurang lebih: pertama, diskusi anggota kelompok Cipayung masuk Golkar sudah terjalin sejak tiga bulan yang lalu, yakni April 2025. Kedua, Rata-rata aktivis yang bergabung ke partai politik cenderung akan bersifat pragmatis dan politis. Ketiga, faktor Bahlil Lahadalia turut serta mendorong aktivis kelompok Cipayung bergabung ke Golkar.
Berkaca dari kejadian dan berita Tempo tersebut, tentulah terdapat jamak permasalahan yang penting untuk diperhatikan, didiskusikan, serta tindaklanjuti, khususnya bagi warga atau aktivis PMII–akan saya uraikan satu persatu.
Idealisme PMII
Idealis yang saya maksud adalah dalam artian PMII berdasarkan AD-ART bab V (lima) pasal 9 nomor 2 perihal "Perangkapan Keanggotaan dan Jabatan" yang berbunyi "Pengurus PMII tidak dapat merangkap sebagai pengurus Partai Politik dan atau calon legislatif, calon presiden, calon gubernur dan atau calon Bupati/wali kota." Bukankah pasal tersebut jelas terang benderang, tidak dapat dipungkiri, dan ganggu gugat?
Ditinjau dari NU yang sudah mempunyai aturan dalam “buku pedoman berpolitik warga NU” hasil Muktamar ke-27 dan ditetapkan untuk dijalankan pada Muktamar ke-28 tahun 1989 yang mana di dalamnya tertuang dalam naskah Khittah 1926, dimulai dari Muqaddimah hingga Khotimah yang terdiri dari sembilan penjelasan secara rinci.
Namun, jika berbicara PMII yang mana warganya plural dari berbagai golongan dan secara keorganisasian sudah menyatakan independen terlepas dari NU, adakah katakanlah “handout berpolitik warga PMII?” Saya kira, AD-ART saja tidaklah cukup, perlu untuk kemudian merumuskan seperti halnya “buku pedoman berpolitik warga PMII.
Aktivisme PMII
Tentu pembaca disini sudah ‘ngelotok’ (hafal diluar kepala) bahwa PMII bila kita tengok berdasarkan AD-ART bab III (sifat) pasal 3 termaktub "PMII bersifat keagamaan, kemahasiswaan, kebangsaan, kemasyarakatan independensi dan profesional". Artinya, ruang lingkup dan gerakan PMII tidak boleh keluar dari ketentuan tersebut.
Selain itu, dalam gerakan "aktivisme" PMII juga sebagai "Civil Society". Civil Society disini yaitu dalam hal relasi antara PMII–masyarakat–Negara. Gerakan dan keberpihakan PMII adalah sebagai pembela masyarakat sipil (baik masyarakat kampus atau negara): sebagai counter atas kebijakan pemerintah yang menyengsarakan lagi merugikan masyarakat sipil, menyerap dan memfasilitasi apa yang diinspirasikan oleh masyarakat, serta mengawal sekaligus mengawasi kebijakan dan permasalahan baik yang ada di lingkup Fakultas, Universitas, daerah, sampai negara.
Terjemahan PMII sebagai civil society di atas tidaklah ‘saklek’ (hanya itu saja). Dalam beberapa situasi dan kondisi tertentu memang mengharuskan keberpihakan PMII kepada para petinggi kampus dan pemerintah. Misalnya, PMII bekerjasama dengan pemerintah bahu-membahu menyukseskan program untuk masyarakat. Menurut saya itu bukan soal. Lain soal bila PMII turut serta mengkapitalisasi keuntungan darinya. Maka yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana PMII pintar-pintar dalam bermanuver memosisikan dirinya sebagai bentuk kewaspadaan akan keterlibatan langsungnya. Selain itu, juga agar terhindar dari pengendalian atau setiran atas ke-independen PMII.
Partai Politik
Apabila kita mencermati kembali sejarah, bukankah PMII pada "deklarasi Munarjati" tahun 1972, tepatnya dalam Musyawarah Nasional (Munas) di Murnajati, Malang, menandai bahwa PMII tidak lagi terikat secara organisasional dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang mana kala itu juga sebagai pemain partai politik? Artinya, PMII menegaskan dirinya sebagai organisasi yang independen, tidak terikat pada kekuatan politik manapun, termasuk NU.
Permasalahan hari ini adalah manakala contohlah anggota atau pengurus aktif PMII mempunyai dua KTA (kartu tanda anggota) dan atau sertifikat yang mengindikasikan keikutsertaan dan keterlibatannya sebagai anggota atau pengurus aktif PMII juga Partai. Seringkali motif dari keterlibatan PMII dalam putaran dunia partai politik praktis selalu sama, yaitu ekonomi.
Sementara PMII dalam arti lain adalah organisasi "social capital (relasi sosial)”, artinya organisasi yang tidak mengedepankan ‘bisnis’ guna memperoleh profit keuntungan ekonomi. Realitas itulah yang secara tidak langsung berimplikasi pada kehidupan sehari-hari berorganisasi. Sederhana begini, manakala dalam urusan hidup-menghidupi dan agar program kerja tetap lancar berjalan, biasanya sumber perolehan PMII pasti dari pemanfaatan relasi sosial: senior, proposal untuk lembaga baik swasta atau pemerintah, tak ketinggalan juga kewirausahaan mandiri PMII itu sendiri, itu pun bila tidak mati.
Oleh sebab itu, ketergantungan jalinan relasi "social capital" ini acapkali berlebihan dalam mekanismenya. Contohlah ketika sowan senior guna menyadari mereka proposal. Pada saat bersamaan, mereka menjabat posisi strategis, baik di pusat pun daerah, lebih-lebih yang ada di Partai politik. Walhasil merekalah yang acapkali menjadi opsi nomor wahid dan tak jarang, di situlah dimungkinkan terjadi kongkalikong.
Berhubungan dengan dunia politik memang tidak dapat dihindari, namun perlu sikap yang mengacu pada prinsip yang tegas dan konsisten. Kearifan berpolitik dengan lebih mengedepankan organisasi sebagai kekuatan politik bukan sebagai lembaga politik menjadi sebuah keniscayaan, sehingga untuk terhindar dari pertautan langsung dengan politik praktis sangat sulit.
Menggerakkan politik untuk membangun dan meningkatkan kapasitas pemberdayaan kader PMII khususnya dan masyarakat umumnya memang memiliki manfaat sebab tak dapat disangkal memiliki posisi tawar yang bersifat mutualisme sehingga dapat berpengaruh pada proses berorganisasi. Namun perlu diingat, diperhatikan, dan ditimbang secara jernih bahwa berpolitik praktis juga memiliki dampak ‘madhorot’ yang tak lepas dari konsekuensi atas dualisme antara ber-PMII dan partai politik.
Apakah dikatakan “inkonsisten dan tidak teguh pada prinsip” apabila dalam proses ber-PMII dibarengi dengan dengan ber-Parpol?
Apakah termasuk kategori “penghianatan” dan atau “penghinaan” kepada PMII?
Jika tidak benar demikian, apa tolak ukur PMII dalam hal itu?
Jikalau pun dibenarkan, masihkah PMII tegas dan konsisten menjalankan AD-ARTnya?
Oleh: Abdulloh Muchlis, Pengurus Biro Keilmuan PMII Komisariat Raden Mas Said.
0 Komentar