Warta

TNI: Menjaga Atau Menguasai Negara

Faisal Hidayat, Kader PMII Hukum UNMUL/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Jika mencermati usulan perubahan dalam draf UU TNI versi Badan Legislatif (Baleg) DPR, kritik dan kekhawatiran yang berkembang di publik terlihat diabaikan. Ada dua usulan perubahan krusial dalam RUU tersebut, yaitu penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil dan perpanjangan masa pensiun. Meski terkesan minimalis, kedua usulan justru sangat problematik dan berpotensi berdampak serius terhadap reformasi TNI. Pertama adalah perluasan jabatan di kementerian dan lembaga negara yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 47 Ayat (2) melalui penambahan frasa "serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden".

Penambahan frasa tersebut menjadi berbahaya sebab dapat ditafsirkan secara luas untuk memberikan ruang kepada prajurit TNI aktif dapat ditempatkan di jabatan sipil tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang diatur dalam UU TNI. Dengan kata lain, presiden ke depan dapat membuat kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga negara sipil lainnya. Selain itu, penambahan frasa itu juga tidak lebih sebagai langkah melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil, seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan bahkan di badan usaha milik negara (BUMN). Jika usulan perubahan tersebut diakomodasi, otomatis ke depan akan lebih banyak lagi jabatan sipil yang diduduki oleh prajurit TNI aktif. 

Profesionalisme TNI dipertanyakan? 

Secara prinsip, penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil tak sejalan dan bertentangan dengan kerangka pengaturan militer di negara demokrasi. Fungsi dan tugas utama militer seharusnya difokuskan sebagai alat pertahanan negara sesuai dengan hakikat keberadaan militer yang dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk perang. Karena itu, penempatan militer di luar fungsi tidak hanya salah, tetapi juga akan memperlemah profesionalisme karena mereka akan banyak disibukkan dengan urusan nonpertahanan. Profesionalisme militer seharusnya dibangun dengan cara meletakkan dia dalam fungsi asli sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkan dalam fungsi dan jabatan di luar kompetensinya.

DPR seharusnya juga mencermati potensi dampak buruk lain. Penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil juga memiliki implikasi negatif terhadap pengelolaan jenjang karier aparatur sipil negara (ASN). Dampak buruk lain adalah timbulnya tarik-menarik kewenangan/yurisdiksi perwira yang terlibat tindak pidana (termasuk korupsi), apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer. Hingga saat ini, belum ada revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer dan tindak pidana umum diadili di peradilan militer. Ketiadaan revisi UU Peradilan Militer tentu akan menghambat upaya penegakan hukum terhadap prajurit TNI yang ada di jabatan sipil ketika terlibat dalam tindak pidana.

Saya rasa UU TNI ini hanya sekedar untuk menjawab kebutuhan mengimbangi kekuatan instansi cokelat sebelah yang sudah menduduki jabatan sipil secara serampangan. Kita tau bahwa karakter militeristik alat negara bersifat top down (sistem komando) apa yang diperintahkan oleh atasan apapun itu harus dilaksanakan sampai ke bawah berbeda dengan supremasi sipil yang mengharapkan sebaliknya dimana setiap keputusan harus diambil dari bawah ke atas (bottom to up). Harusnya hal ini diperbaiki bukan malah dibuat semakin rusak dengan menarik TNI keluar dari barak memperluas kewenangannya untuk hadir di jabatan-jabatan sipil.

Proses Legislasi yang Cacat

Menurut Prof Susi beberapa alasan utama revisi UU TNI harus ditolak. Pertama, prosedur penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) tidak menunjukkan democratic law making, tapi sebaliknya abusive law making. Penyusunan RUU TNI ini absen asas keperluan atau kebutuhan, hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu. Kedua, konsideran RUU TNI sebagaimana tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disodorkan pemerintah. Konsideran itu menyebut TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara mengacu pada demokrasi, supremasi sipil, HAM, hukum nasional dan internasional. Tapi faktanya berbagai prinsip itu tidak ada dalam batang tubuh RUU TNI.

Misalnya, Pasal 7 RUU TNI mengatur tugas perbantuan yang dapat dilakukan TNI. Antara lain operasi militer selain perang (OMSP) dijalankan atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara, diatur lebih lanjut lewat Peraturan Pemerintah (PP)  atau Peraturan Presiden (Perpres). Pertanyaan hukumnya, apakah tepat PP mengatur politik hukum dan dinyatakan sebagai keputusan politik negara?. Sejauh mana tugas perbantuan itu tidak mengganggu fungsi lembaga lain dan bagaimana cara mengontrolnya?.

JasMerah Dwifungsi ABRI & Gerakan 98

Rikan dalam jurnal Konsep Dwifungsi ABRI dan Peranannya Di Masa Pemerintahan Orde Baru Tahun 1965-1998 menyebutkan, bahwa awal mula muncul konsep dwifungsi ABRI dicetuskan oleh Abdul Haris Nasution pada tanggal 12 November 1958 pada hari peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN). Hal ini dilatar belakangi oleh rasa nasionalisme yang tinggi pada perwira anggota ABRI sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam politik dengan tujuan untuk menyelamatkan bangsa.

Dwifungsi ABRI dilandaskan oleh ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 di bawah kepemimpinan rezim Orde Baru. Seperti namanya dwifungsi atau yang berarti dua fungsi, ABRI memiliki dua fungsi yang berbeda. Dwifungsi ABRI adalah fungsi tempur dan fungsi pembina wilayah atau pembina masyarakat. Atau sederhananya dapat disebut sebagai kekuatan militer negara dan pengatur pemerintahan negara. Sehingga anggota ABRI mendapatkan kursi di MPR dan DPR tanpa perlu mengikuti pemilu. Dampak dari adanya dwifungsi ABRI ini adalah berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI yang mendominasi pemerintahan.

Hal ini juga menjadikan tidak transparannya sistem pemerintahan di Indonesia pada masa itu. Puncak dari masa kejayaan dwifungsi ABRI terjadi pada tahun 1990-an, di mana pada saat itu anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto. Hal inilah yang memunculkan keresahan ditengah masyarakat karena kediktatoran rezim pada saat itu Indonesia mengalami krisis moneter. Saat orde baru tumbang, militer sebagai komponen pendukung utamanya ikut terdampak.

Menurut imparsial, puncaknya pada tahun 1998 saat itu militer menjadi sasaran utama kritikan dan bahkan kecaman publik, bahkan ketika itu munculah slogan “Kembalikan Militer Ke Barak” yang diikuti oleh tuntutan-tuntutan menghapus peran sosial-politik, pencabutan hak-hak keistimewaan, serta membatasi fungsi dan peran militer di ranah sipil.

Penulis: Faisal Hidayat, Kader PMII Hukum UNMUL.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close