Warta

Asa di Antara Arah Juang

Sajad Khawarismi Maulana Musthofa, Kader PMII UIN KHAS Jember/Foto: Istimewa
Aktivis Autentik - Malam di Jember turun pelan-pelan, menyelimuti kampus Universitas Insyaallah Islam (UIN Jember) dengan hawa yang hangat. Di balik tembok-tembok tua ruang sekretariat organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Maulana duduk termenung. Di sampingnya, secangkir kopi hitam sudah agak dingin dan laptop menampilkan draft proposal aksi demonstrasi pekan depan. Di benaknya, tersimpan kenangan setiap aksi yang pernah digelar, setiap orasi lantang, dan juga setiap nasihat dari sahabat-sahabatnya.

Maulana, mahasiswa asal Lumajang yang kini menapaki semester delapan, dikenal di kampus sebagai aktivis yang tak pernah absen. Di tiap demonstrasi, di garis depan orasi, namanya kerap menyatu dengan seruan “turunkan UKT” dan desakan keadilan bagi mahasiswa. Meski demikian, di balik semangatnya itu, tersimpan kegelisahan. Di antara hiruk-pikuk aksi dan orasi, ada sebuah beban—yaitu tanggung jawab untuk menyelesaikan studinya, sebuah tuntutan yang datang dari hati orang tuanya.

***

Di ruang rapat PMII yang sederhana, bunyi canda tawa terdengar. Fachrudin, yang selalu penuh energi, menyapanya,

“Lan, kopi kamu sudah dingin! Bangun, kita diskusi lagi!”

Abdul, yang duduk di pojok dan tak lepas mengantuk, menimpali sambil tersenyum,

“Aku sih yakin kamu bisa menyalakan semangat walau kopi sudah dingin, bro.”

Rahmat, sang ketua sekaligus sahabat, kemudian menambahkan dengan nada optimis,

“Kita butuh semangatmu, Lan. Kita butuh saran dari kajian darimu, karena itu penting buat kita semua.”

Meskipun mendapat dukungan, Maulana menyimpan kegelisahan yang mendalam di balik senyum tipisnya.

***

Sementara itu, pesan di WhatsApp dari ibunya mulai bermunculan:

"Nak, kapan kamu pulang? Bapak terus tanya, skripsimu gimana? Demo itu penting, tapi kuliahmu lebih utama."

Tak lama kemudian, telepon dari ayahnya yang seorang yang sedang sakit di Lumajang juga menggema di telinga Maulana. Suaranya berat namun penuh kasih,

"Lan, kami bangga dengan semangatmu, tapi jangan lupakan pendidikan. Selesaikan kuliahmu supaya bisa bantu ayah dan adik-adikmu yang masih kecil."

Kata-kata itu menekan hati Maulana setiap kali ia melangkah ke panggung aksi.

***

Di tengah perjalanan hidup yang penuh dinamika, hadir pula sosok lembut namun penuh keteguhan, Vivi. Sebagai adik tingkatnya dan kader aktif PMSI, Vivi selalu hadir memberi dukungan. Suatu malam, ketika lampu-lampu jalan mulai redup, mereka duduk bersama di Taman Segitiga sambil menikmati angin malam.

“Lan, aku kadang khawatir. Kau begitu larut dalam semangat demonstrasi, tapi bagaimana dengan skripsimu?” tanya Vivi lembut, sambil menatap jauh ke cakrawala.

Maulana menunduk dan menjawab, “Aku tahu, Vi. Tapi perjuangan ini bagian dari jiwaku. Aku merasa harus mempertahankan idealisme ini walau terkadang mengikis waktuku untuk studi.”

Vivi pun tersenyum penuh pengertian, “Perjuangan itu indah, tapi jangan sampai kau kehilangan dirimu. Aku ingin kau berdiri kokoh di dua dunia itu.”

Dialog itu selalu memberi Maulana secercah harapan di tengah tekanan.

***

Di perpustakaan kampus yang sunyi, saat jam-jam sepi menjelang malam, Maulana sering kali larut dalam bacaannya. Di antara bisikan mesin fotokopi dan denting jarum jam, ia membaca karya-karya Marx dan memetik ilmu dari sejarah perjuangan Tan Malaka.

Di sampingnya, Abdul yang kebetulan datang meminjam buku sambil berbisik, “Lan, kau serius membaca Marx? Aku masih takut mikirin demo besok.”

Maulana hanya tersenyum, “Setiap perjuangan butuh dasar ilmu, Bro. Ideologi yang kuat itu senjata paling tajam buat perubahan.”

Obrolan ringan itu menambah lapisan pemikiran di tengah kelas perjuangan.

***

Suatu malam, setelah aksi demo di depan Gedung Rektorat, keadaan mulai mencekam. Di antara teriakan massa dan orasi yang menggema, Rahmat memimpin dengan megafon di tangan,

"Kami bukan pembangkang! Kami pembela hak mahasiswa! Turunkan UKT! Rektor harus buka mata!"

Di antara kerumunan, Fachrudin menambahkannya dari samping, “Benar Turunkan UKT, mahasiswa tertekan akibat UKT yang mahal pak!”

Maulana menimpali dengan lantang, “Jangan jadikan birokrasi akademisi menjadi sarang korupsi, kalian bukan politisi, wahai Bapak Rektorat!”

Dalam aksi itu, suara dukungan dan semangat dari setiap mahasiswa yang merasa terdiskriminasi dan diekspolitasi seolah menambah semangat juang Maulana. Namun, di malam itu juga, kabar tentang beberapa mahasiswa yang tertangkap tiba-tiba menghempaskan berita pahit.

Telepon dari ibunya berdenting, penuh kecemasan, “Lan, kau itu ngapain demo terus? Ibu takut. Cepat selesaikan kuliahmu saja, ya!”

Suara itu menggema di antara riuh tepuk tangan massa yang perlahan luntur. Kegelisahan mulai menyelimuti hati sang aktivis.

***

Beberapa hari kemudian, suasana mulai berubah. Di taman segitiga kampus, tempat yang sering mereka jadikan lokasi bertukar pikiran, terjadi pertemuan yang menyentuh.

“Vi, kenapa kau terlihat jauh akhir-akhir ini?” tanya Maulana penuh harap.

Vivi menunduk dengan mata berkaca-kaca, “Aku sayang kamu, Lan. Tapi aku capek melihatmu terus-menerus terjebak di antara demo dan tugas kuliah. Aku ingin melihatmu utuh.”

Sementara itu, tidak jauh dari sana, dua sahabat Vivi—Urmila dan Husna—terlibat dalam percakapan. Urmila berkata dengan tenang, “Aku pernah berpikir, mungkin kita harus saling mengingatkan bahwa cinta dan perjuangan itu harus seimbang.”

Husna yang lebih ekspresif menimpali, “Iya, betul itu. Kalau cinta hanya soal teriakan di tengah keramaian, nanti rapuh tak bertahan. Kita butuh cinta yang bisa menyatu dengan logika dan keadilan.”

Dialog itu menggetarkan hati Maulana, membuatnya tersadar bahwa ia harus menemukan keseimbangan antara idealisme dan tanggung jawab.

***

Di ruang kantor PMII yang sederhana, sebuah keputusan penting pun tersusun. Suatu pagi yang masih dingin, Maulana datang ke ruang kesekretariat untuk menemui Rahmat. Dengan raut wajah serius yang jarang terlihat, ia berkata,

"Mat, aku mau minta izin untuk vakum sejenak. Aku harus fokus menyelesaikan skripsi dan memantapkan pikiranku tentang arah perjuangan."

Rahmat terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada mendalam, “Lan, kamu penting dalam pergerakan kita. Tapi jika kau merasa terbagi, kau harus ambil waktu. Ingat, regenerasi itu penting. Aku dukung keputusanmu, asal jangan lupakan akar perjuangan. Kembalilah dengan semangat yang lebih matang.”

Fachrudin yang sedang lewat pun menyela, “Jangan lupa, bro, waktu vakum itu bukan berarti hilang dari hati perjuangan. Tetap simpan semangatmu di setiap detak jantung.”

Abdul mengangguk sambil berkata, “Kita nantikan kedatanganmu, Lan. Jadikan masa ini sebagai waktu memperkuat fondasi untuk masa depan.”

Keputusan Rahmat dan dukungan teman-temannya membalut kepedihan Maulana dengan secercah harapan.

***

Masa-masa vakum pun berjalan. Di perpustakaan yang sunyi, Maulana menghabiskan waktu dengan membaca karya-karya pemikir kritis dan mendalami sejarah perjuangan. Di sela-sela halaman buku, ia menuliskan renungan tentang cinta dan keadilan yang menggabungkan semangat Tan Malaka dan Karl Marx. Ia menulis dengan penuh perasaan:

"Cinta tidak semata soal asmara. Cinta adalah keinginan untuk mengubah dunia dengan keberanian dan kesadaran. Seperti Tan Malaka yang mengajarkan bahwa revolusi lahir dari jiwa yang utuh, dan Marx yang percaya bahwa cinta dan keadilan adalah bahan bakar perubahan. Aku ingin menjadikan ilmu dan cinta sebagai satu kekuatan, agar perjuanganku tidak hanya berteriak di jalanan, tetapi juga terpatri di dalam diri."

Pesan-pesan dari tulisan itu kian menyatu dengan dirinya. Di antaranya, setiap pesan singkat dari Vivi selalu tiba di kala yang tepat. “Lan, kau sedang mengejar mimpi besar. Meski jauh, aku selalu di sini mendukungmu,” tulisnya suatu malam lewat pesan.

Di sela-sela waktu, Urmila dan Husna yang sering datang ke kosannya Vivi turut memberikan semangat. “Jangan terlalu keras pada dirimu, Lan. Jadikan masa ini sebagai pelajaran bahwa cinta bisa menyatu dengan pengetahuan,” ujar Urmila pada suatu pertemuan kecil. Husna pun menimpali, “Kita semua di sini, menunggu kedatanganmu dengan semangat yang lebih matang dan hati yang utuh.”

***

Setelah melewati masa vakum yang penuh dengan renungan mendalam, akhirnya tiba hari wisuda. Halaman kampus dipenuhi dengan ragu dan antisipasi. Di antara kerumunan mahasiswa dan keluarga, terlihat ayah dan ibu Maulana datang ke Jember dari Lumajang. Mereka menempuh perjalanan sejak subuh demi melihat anak sulung mereka meraih gelar.

Di balik sorak sorai, Rahmat, Fachrudin, dan Abdul berdiri di barisan depan sambil mengibarkan poster bertuliskan “Selamat, Aktivis Pergerakan!”

Di tengah keramaian itu, Vivi berdiri di samping Maulana, menggenggam erat tangannya. Tidak hanya itu, di antara tepuk tangan, tampak juga Urmila dan Husna yang tersenyum bangga menyaksikan momen bersejarah itu.

Di sela-sela perayaan, Rahmat mendekati Maulana dan berbisik, “Kau telah menemukan keseimbangan, Lan. Pendidikan dan perjuangan, cinta dan keadilan—semua itu berpadu dalam dirimu.”

Fachrudin menimpali dengan tertawa kecil, “Jangan lupa, demo kita masih menunggu nanti. Tapi hari ini, kau layak dirayakan!”

Abdul yang biasanya pendiam menambahkan, “Ilmu itu senjata, Lan. Dan hari ini, kau telah menunjukkan bahwa senjata terkuat adalah kombinasi antara pengetahuan dan semangat juang.”

***

Dalam perayaan itu, di tengah riuh tepuk tangan dan keharuan, Maulana dihadapkan pada kenyataan baru. Di hadapan mimbar, saat upacara wisuda usai, ia merenung sejenak. Dalam benaknya terdengar kembali kata-kata yang pernah ia tulis, “Cinta adalah revolusi batin.”

Dia menatap langit Jember yang cerah dan merasakan kehangatan dari setiap dukungan dan perjuangan yang telah dilewatinya. Di saat itu pula, ia berjanji pada dirinya sendiri, “Aku akan mengintegrasikan ilmu, cinta, dan perjuangan dalam setiap langkah ke depan. Aku bukan hanya seorang aktivis yang berteriak, tetapi juga seorang pemikir yang mampu menciptakan perubahan.”

Di tengah kerumunan, suara Vivi lembut menyapanya, “Kini, kita bisa menatap masa depan bersama dengan lebih mantap, Lan.”

Raut wajah Rahmat dan Fachrudin yang menyemangati, disertai canda Abdul yang ringan, menyatu dengan harapan yang tumbuh dalam diri Maulana. Begitu pula, Urmila dan Husna yang tidak pernah berhenti mendoakan, turut menciptakan atmosfer penuh syukur dan kebersamaan.

***

Dalam perayaan itu, Maulana pun tersenyum. Ia menyadari bahwa perjalanan panjangnya—dari demonstrasi di depan rektorat hingga malam sunyi di perpustakaan—telah mengajarkannya arti sesungguhnya dari perjuangan yang utuh: antara ilmu dan cinta, antara aksi dan renungan. Dia pun melangkah ke masa depan dengan keyakinan bahwa setiap tetes keringat, setiap kata yang dituliskan, dan setiap dialog yang terjalin di antara teman-teman seperjuangan, merupakan bagian tak terpisahkan dari asa yang harus terus dirajut.

Hari itu bukanlah akhir, melainkan awal dari bab baru dalam hidup seorang pejuang yang telah menemukan bahwa revolusi sejati adalah revolusi batin, yang dimulai dari cinta dan pengetahuan—sebuah perjuangan yang akan selalu hidup dalam setiap langkahnya.

Penulis: Sajad Khawarismi Maulana Musthofa, Kader PMII UIN KHAS Jember.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close