![]() |
Kamim Tohari/Foto: Aktivis Autentik |
Namun di sisi lainnya, kemajemukan praktik peribadatan yang seharusnya menjadi corak keberagamaan yang khas dan unik ini acapkali tidak berbanding lurus dengan keadaan di lapangan. Nyatanya praktik intoleransi masih sering terjadi. Tidak hanya sekali dua kali, bahkan hampir setiap tahunnya kita mendengar, membaca maupun melihat adanya intoleransi ini. Apalagi menjelang hari besar agama lain, selalu saja ada diskriminasi terhadap umat beragama lain “non muslim” yang ingin menjalankan peribadatannya.
Sebagai mayoritas di sini, Islam—dalam hemat saya—memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mempraktikkan toleransi di tengah masyarakat. Kita boleh berbeda dalam hal keyakinan, namun kita harus ingat sebagai sesama manusia “warga negara” kita memiliki hak yang sama sesuai Pancasila yang telah menjadi konsensus bersama. Lalu kenapa potret intoleransi masih marak terjadi? Saya kira bukan payung kita “Pancasila” yang keliru, melainkan cacat logika kita yang belum memahami betul esensi daripada Pancasila itu sendiri dan bagaimana mengimplementasikannya dalam laku hidup berdampingan antarumat beragama.
Karenanya, Islam sebagai agama yang mengusung slogan rahmatan lil ’alamin tentu akan beriringan dengan konsekuensinya. Umat muslim harus merepresentasikan slogan itu sebagai laku hidup keberagamaannya. Apalagi Islam sebagai mayoritas yang hidup di tengah kemajemukan suku, agama, ras, dan antargolongan layak menjadi pelopor toleransi antar pemeluk agama dan penghayat keyakinan. Bukan sebaliknya, mengaku dirinya “Islam” yang pantas mendapatkan privileges tertentu atas dasar agama yang dianut oleh mayoritas. Sehingga yang lain—agama minoritas dan penghayat keyakinan—dipinggirkan dari haknya sebagai sesama warga negara.
Menyoal intoleransi dalam praktik beragama masih jamak kita temui di negara yang katanya mengedepankan etika ketimuran ini. Entah beberapa kali insiden intoleransi terjadi dan terus berulang hingga saat ini. Rasanya belum kering rentetan luka intoleransi yang terjadi di negeri tercinta ini, salah satunya menjelang Ramadan 2021 umat Kristen di Mataram, Lombok juga mengalami intoleransi. Pemerintah Kecamatan Sandubaya dan Kelurahan Ampenan melarang enam Gereja beraktivitas selama Ramadan karena tekanan dari kelompok warga yang intoleran. Berikutnya, menjelang Ramadan 2023 terjadi penutupan ruang ibadah agama minoritas. Tepatnya di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus, Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta. Intoleransi yang terjadi adalah penutupan patung Bunda Maria dengan terpal. Nasib serupa pun dialami umat Kristen di Padang medio 29 Agustus 2023 silam. Lebih tepatnya mereka yang diintimidasi, dibubarkan, hingga diancam memakai parang saat melakukan kebaktian di kontrakan salah satu jamaahnya itu adalah jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Solagracia di Lubuk Begalung, Padang.
Beberapa waktu lalu kembali terulang praktik intoleransi, di mana pembubaran paksa ibadah Minggu umat Kristiani di Balaraja Tangerang. Tepat 17 Maret 2024 lalu, di tengah bulan suci Ramadan terjadi praktik intoleransi terhadap umat Kristiani yang dilakukan oleh sekelompok warga yang merasa tidak nyaman dengan peribadatan Minggu yang dilakukan di salah satu rumah warga. Alasannya warga setempat tidak terima karena peribadatan atau kebaktian yang dilakukan di rumah itu belum memiliki izin warga setempat. Sungguh ironi, ritual peribadatan yang harusnya ranah pribadi, namun karena minoritas direcoki dan seolah dilarang berinteraksi dengan Tuhannya.
Praktik pembubaran ibadah umat Kristiani di rumah pribadi yang terjadi di Tangerang sudah seharusnya membuka lebar mata kita, bahwa kenyataannya praktik intoleransi hingga tindak kekerasan masih marak terjadi. Anehnya aparat berwenang—dalam hal ini kepolisian—yang seharusnya menjadi pengayom sesama justru bertindak konyol. Korban intoleransi—si empunya rumah yang dijadikan tempat peribadatan—justru dituntut membuat dan membacakan pernyataan untuk tidak menggunakan lagi rumahnya sebagai tempat kebaktian. Sungguh negara telah patuh dan tunduk kepada kelompok mayoritas dengan dalih kerukunan.
Sebagai muslim patutnya kita malu, di bulan yang mana sebagai muslim dianjurkan menahan diri dari merugikan orang lain yang oleh Sunan Kalijaga dikatakan, “Kalau kita merasa tidak mampu memberi manfaat kepada orang lain, maka cukup kita berupaya untuk tidak merugikan orang lain”, justru mal praktik keberagamaan secara vulgar dipertontonkan. Dahulu betapa susah payah Gus Dur membangun basis kemanusiaan sebagai pondasi keberagamaan namun belakangan diporak-porandakan begitu saja oleh segelintir muslim itu sendiri. Saya kira Kanjeng Nabi Saw pun akan kecewa dengan kita—yang acapkali mengaku-ngaku umatnya—atas tindak intoleransi tersebut. Karena pada masanya, Kanjeng Nabi Saw adalah inisiator dialog lintas agama sehingga tercipta kerukunan di wilayah yang majemuk.
Mari kita “muslim” merenung sejenak, apakah ketika kita melakukan praktik keberagamaan di rumah semisal salat berjamaah, yasin-tahlil, selawatan, gendurenan, buka bersama, tasyakuran apakah kita pernah izin dengan mereka yang minoritas? Apakah karena kita mayoritas lalu bebas seturut hati sendiri ketika melakukan ibadah atau berkumpul? Atau karena lingkungan kita mayoritas maka tidak memerlukan izin? Lalu bagaimana jika kita berada di lingkungan minoritas, apakah kita akan izin tatkala melaksanakan praktik ibadah kita? Pertanyaan demi pertanyaan yang kiranya perlu direfleksikan ulang jawabannya.
Untuk pertanyaan terakhir di atas, saya teringat sosok Gus Dur. Saya pernah membaca di mana beliau ketika masih menjabat Ketua Umum PBNU hingga jadi presiden senantiasa berupaya mengharmonisasikan umat Islam dan umat Hindu di pulau Dewata. Dahulu saat ke Bali Gus Dur jarang sekali berkunjung ke kantor PWNU Bali maupun masjid-masjid. Justru Gus Dur lebih sering “main” ke Puri, Pura, Ashram, dan menemui para Raja serta tokoh-tokoh Hindu. Di balik itu, Gus Dur menyimpan misi bahwa Islam di Bali itu minoritas, oleh karenanya ia membangun komunikasi “ikatan persaudaraan” sesama anak bangsa tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan. Apa yang dilakukan Gus Dur itu amat cespleng, secara tidak langsung Gus Dur ingin menitipkan umat Islam di Bali kepada krama (masyarakat) Hindu di sana. Ya, menitipkan umat Islam—yang di sana minoritas—kepada para Raja dan tokoh Hindu di Bali agar menjaga muslim yang ada di Bali. Maka, jalinan komunikasi yang telah digagas Gus Dur tetap dilanjutkan hingga kini, sehingga antara umat Islam dan umat Hindu hidup rukun. Atas upayanya itu Gus Dur menjadi sosok muslim yang dihormati dan dikagumi oleh krama Hindu Bali.
Saya kira apa yang dilakukan Gus Dur itu sejalan dengan para pendahulunya yakni Wali Songo dan puncaknya terinspirasi dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang juga melakukan upaya-upaya komunikatif-humanitarian serupa pada masanya saat dihadapkan dengan kemajemukan umatnya. Bahkan Kanjeng Nabi Saw menegaskan, “Ahabbu ad-din illallah al-hanafiyyatu as-samhatu”, artinya Agama yang dicintai Allah Swt adalah—yang bercirikan—lurus lagi lapang (toleran). Praktik toleransi era Kanjeng Nabi Saw tergambar dalam buku Toleransi; Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagamaan (2022) karya Cendekiawan Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Ketika menetap di Madinah pasca hijrah, Rasulullah Saw mendapati kenyataan bahwa Madinah merupakan kota yang majemuk, baik agama maupun suku-suku yang tinggal di dalamnya. Kemajemukan itu dapat menjadi sumber persoalan dan rentan konflik.
Oleh karenanya, dahulu dengan elegannya Kanjeng Nabi Saw menginisiasi Piagam Madinah untuk mendamaikan dan menyatukan kemajemukan yang ada di kota Madinah. Dalam naskah perjanjian tersebut, disebutkan berbagai ketentuan yang menjadi konsensus di antaranya adanya keterbukaan, saling menghormati, dan toleransi di antara mereka. Ihwal tersebut tergambar dalam kebebasan beragama bagi pemeluk agama, pembelaan bagi kaum yang lemah, dan kewajiban bela negara. Bahkan banyak yang meyakini Mitsaq al-Madinah ini sebagai embrio perjanjian antar bangsa, seperti Piagam PBB dan Magna Carta.
Sementara praktik toleransi teragung dalam sejarah Islam terjadi saat peristiwa Fathu Makkah pada tahun 8 Hijriah atau 630 Masehi. Di mana sebelumnya Kanjeng Nabi Saw disakiti, diusir dari tanah airnya oleh penduduk Makkah, namun saat Makkah diambil alih oleh Kanjeng Nabi Saw tidak sedikit pun pertumpahan darah atau balas dendam kepada kaum kafir Quraisy. Justru sebaliknya, mereka dilindungi, diperlakukan dengan sangat baik dan dijamin keamanannya. Kalau ini bukan karena sikap lapang dada (toleransi) dari Kanjeng Nabi Saw sudah pasti pihak yang menang akan merasa jumawa terhadap pihak yang kalah. Sungguh Kanjeng Nabi Saw telah memberi teladan ihwal toleransi yang paripurna.
Maka jangan sampai kita menjadi muslim yang sibuk beragama namun lupa bertuhan. Maknanya, Tuhan telah menciptakan perbedaan itu untuk menjalin persaudaraan sesama manusia. Kalau kita masih membeda-bedakan dan merasa paling hak dalam beribadah maka secara tidak langsung kita telah melawan kodrat Tuhan yang telah menciptakan perbedaan itu sendiri. Jangan harap hablum minallah akan mulus kalau di ranah hablum minannas saja kita masih terseok-seok. Karena untuk menggapai derajat muttaqin itu berpijak dari relasi kemanusiaan. Oleh sebab itu Gus Dur selalu mewanti-wanti, “Humanity before religiosity”, sebab mushkil kita beragama namun menegasikan nilai-nilai filantropis.
Mari merefleksikan ulang dan belajar dari peristiwa intoleran yang telah terjadi. Nyatanya intoleransi membuat hubungan sesama anak bangsa itu renggang, tentu imbasnya lebih luas kalau dibiarkan berlarut-larut. Untuk itu mari belajar dari Kanjeng Nabi Muhammad Saw, Wali Songo, hingga Gus Dur yang telah meletakkan tiang pancang toleransi, agar ke depan praktik-praktik intoleran hangus dari Ibu Pertiwi ini. Karena bukan hanya mayoritas yang boleh “berisik” saat beribadah. Bukan hanya mayoritas yang boleh bersuara untuk mendekat kepada Tuhannya. Semua memiliki hak yang sama dengan warga negara lain. Karena toleransi bukan soal mayoritas-minoritas, toleransi bukan mencampuradukkan akidah atau keyakinan, toleransi bukan pula membenarkan keyakinan yang berbeda-beda. Toleransi adalah keberanian sikap untuk menghormati dan menghargai perbedaan di antara kita, agar tercipta hidup yang sejuk, rukun, damai, dan sejahtera.
Penulis: Kamim Tohari
0 Komentar