Warta

Hardiknas: Bukan Perayaan, Tetapi Peringatan Matinya Pendidikan yang Sesungguhnya

Hardiknas: Bukan Perayaan, Tapi Peringatan Matinya Pendidikan yang Sesungguhnya/Ilustrasi: Istimewa
Aktivis Autentik - Setiap 2 Mei, kita rutin memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), hari kelahiran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. Tahun demi tahun, peringatan ini dirayakan dengan upacara, seminar, lomba, hingga unggahan media sosial yang sarat simbol dan formalitas. Namun di balik kemeriahan itu, satu pertanyaan besar patut diajukan: apa yang sebenarnya sedang kita rayakan?

Pendidikan Indonesia masih dipenuhi persoalan yang nyaris tak kunjung selesai. Akses pendidikan yang tidak merata, kualitas guru yang timpang, hingga sistem pembelajaran yang kerap kali hanya berorientasi pada nilai, bukan pemahaman. Di berbagai daerah, banyak siswa masih kesulitan belajar karena keterbatasan sarana, dan guru terus bergelut dengan sistem administratif yang memberatkan.

Masuknya Menteri Pendidikan yang Baru pada kabinet 2024-2029 membawa harapan akan perubahan. Namun hingga kini, publik masih bertanya-tanya: ke mana arah kebijakan pendidikan akan dibawa? Beberapa sinyal awal seperti penguatan digitalisasi pendidikan dan perluasan program "Merdeka Belajar" memang terdengar menjanjikan. Tapi yang jadi soal adalah, apakah pendekatan itu benar-benar menyentuh akar masalah pendidikan?

Jika digitalisasi hanya difokuskan pada infrastruktur dan platform, sementara literasi digital guru dan siswa diabaikan, maka yang terjadi hanyalah ketimpangan baru. Di banyak sekolah, bahkan koneksi internet pun masih menjadi barang mewah. Lalu, ketika pendidikan justru semakin berbasis pada capaian numerik, ranking, dan laporan, bagaimana mungkin kita membentuk generasi yang berpikir kritis dan kreatif?

Lebih dari itu, jika suara guru dan pelajar masih tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan, maka semangat "merdeka belajar" hanya akan menjadi slogan yang hampa. Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya." Tapi kini, pendidikan justru kerap kali menjauhkan manusia dari kodratnya, menjadikannya sekadar objek sistem dan bukan subjek perubahan.

Dalam konteks inilah, Hardiknas bukanlah perayaan, tapi peringatan. Peringatan bahwa semangat pendidikan yang sesungguhnya membebaskan, memanusiakan, dan mencerdaskan semakin tergeser oleh logika pasar dan formalitas administratif. Bahwa pendidikan tidak sedang bergerak maju jika hanya mengganti kurikulum tanpa memperkuat ekosistem pendidikan itu sendiri.

Kita tidak butuh pendidikan yang sekadar "ikut tren", tapi pendidikan yang berpihak pada peserta didik. Kita butuh kebijakan yang tidak hanya fokus pada platform dan sertifikasi, tetapi pada relasi belajar yang sehat, ekosistem sekolah yang adil, dan ruang tumbuh yang merdeka bagi setiap pelajar, guru, dan pemangku kepentingan lainnya.

Hardiknas seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Apakah pendidikan hari ini sudah mengarah pada kemerdekaan berpikir? Apakah pelajar kita diajak untuk memahami realitas sosial, berani menyuarakan keadilan, dan berkontribusi bagi kemanusiaan? Atau justru dijauhkan dari persoalan nyata dan hanya diarahkan untuk menjadi “kompeten” demi angka dan ijazah?

Menteri baru boleh datang, kurikulum boleh berubah, platform boleh berkembang. Tapi selama pendidikan tidak diletakkan sebagai alat pembebasan dan pembangunan peradaban, maka setiap Hardiknas sejatinya bukanlah hari bahagia, melainkan tanda bahaya.

Kita tidak sedang merayakan keberhasilan. Kita sedang memperingati kehilangan - kehilangan makna sejati dari pendidikan itu sendiri.

Penulis: Aqiqul Putra

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close