Warta

Membaca Ulang Emansipatoris Dialektis RA Kartini

Novia Ulfa Isnaini, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN KH Ahmad Shiddiq Jember/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Sebagai peringatan yang besar setiap tanggal 21 April karena hari tersebut merupakan momen untuk mengenang pahlawan emansipasi wanita Indonesia, RA Kartini. Selain sebagai simbol penghormatan, pada hari ini, kita juga diajak untuk merenungkan kembali perjuangan oleh sosok perempuan, sebagaimana suaranya yang begitu lantang untuk menegakkan keadilan.

Untuk itu sudah seharusnya momen tersebut tidak hanya sebagai peringatan seremonial saja, melainkan refleksi mendalam terhadap masyarakat terutama kaum perempuan untuk memikirkan ulang sudah sejauh mana pemikiran emansipatoris RA Kartini sebagai refleksi bagi kita untuk membawa perubahan sosial?

Di era post truth sekarang ini, kondisi sosial pemuda masyarakat masih banyak yang berkutat dengan pelbagai permasalahan, terlebih krisis identitas dan minimnya semangat belajar intelektual. Maka dari itu merepresentasikan kembali makna emansipatoris dan jejak perjuangan RA Kartini merupakan pilihan yang tepat, agar dapat dengan mudah menginternalisasikan semangat juang yang pernah beliau lakukan.

RA Kartini tidak ingin dirinya hanya sebagai simbol, wujud yang diimpikan olehnya ialah menjadi manusia seutuhnya, yang mampu berpikir, merasakan dan menggugat ketidakadilan. Hal ini beliau lakukan dengan mengirimkan gagasan pemikirannya kepada teman-teman Belanda. Melalui surat-surat yang ia buat, Kartini menyalurkan energi Intelektual dan spiritual.

Atas kekaguman dari teman Belanda, Surat-surat Kartini diterbitkan di Semarang, Surabaya, dan Den Haag atas prakarsa Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J. H Abendanon dan Estelle Zehandelaar. Hal ini dilakukan supaya masyarakat dapat mereaktualisasikan pemikiran dan gagasan seorang tokoh Kartini yang progresif, Visioner dan peduli terhadap ketidakadilan baik yang dilakukan oleh pejabat Pribumi sendiri maupun koloni Belanda.

Esensi Emansipatoris Dialektis RA Kartini 

Sudah menjadi hal umum, bahwa kaum feodal secara tradisional mendapatkan keenakan dalam kehidupan sosial, berbeda dengan masyarakat lainnya yang dianggap tidak memiliki nilai prestisius dimata Belanda. Walaupun hidup Kartini bersinggungan langsung dengan Kaum Feodal akan tetapi ia memberontak dan ingin memilih hidup bebas dari cengkraman adat yang merampas kemerdekaan dan fungsi sosialnya.

Menurut Kartini kaum fedoal identik dengan ausdauer atau daya dorong lemah, lemah dalam hal intelektual dan lemah dalam gerakan sosial. Hal ini tercermin dari gagalnya suatu pemberontakan yang dipimpin oleh kaum feodal karena kurangnya prestasi intelektual pemimpin, kecuali hasrat hendak mendapatkan selingan mata dari pihak Belanda. Kaum feodal lebih mementingkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan masyarakat. Rakyat menderita karena kaum feodal. Belum lagi adat kaum feodal yang diwujudkan dalam bentuk kezaliman, keserakahan, kepalsuan dan perbuatan egois. 

Pemikiran Karl Marx terkait konflik kelas, ialah bahwa perkembangan masyarakat kelas feodalisme ke masyarakat borjuis merupakan kelanjutan yang tidak dapat dielakkan, kelas-kelas itu sendiri yang akan memperjuangkan kelasnya. Bagi Marx masalah pokok bukanlah memahami sejarah atau dunia ini, melainkan bagaimana mengubah nya " Manusia membuat sejarahnya sendiri ".

Walaupun Kartini belum pernah berbicara tentang Borjuis, keinginan beliau untuk mengubah keterbelakangan pada dunia Pribumi mencerminkan semangat emansipatoris yang menentang dominasi kelas dan ketidakadilan sosial. Kesadaran akan perasaan tanggung jawabnya pada generasi mendatang ia lakukan dengan pengabdian terhadap masyarakat. Hal ini juga merupakan jalan kebahagiaan baginya.

Dalam meraih perubahan sosial, pertama yang dilakukan Kartini ialah membangun kesadaran dengan meraih buku-buku dan menyelamatkan hatinya di dalam dunia Pustaka. Dengan memasuki dunia intelektual yang berupa gagasan, ide atau pemikiran, ia dapat menemukan nilai-nilai sosial yang lebih bermutu. Dari sinilah intelegensi pada pemikirannya akan lebih terbuka. 

Terhadap apa yang disampaikan oleh Karl Marx untuk memahami perjuangan kelas perlu menggunakan proses dialektika, yang merupakan pertentangan antara kelas yang menguasai dan kelas yang diabaikan.

Tentu saja Kartini tidak akan diam, ia menyalurkan pemikirannya melalui surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Eropa, yang berisi kritik terhadap sistem feodal, ketimpangan gender, serta keterbelakangan pendidikan bagi kaum perempuan Pribumi. Selain berkirim surat, yang dilakukan Kartini ialah membuat sarana belajar di pendoponya bagi anak-anak dari kalangan Pribumi.

Dalam konteks modern saat ini, belenggu bukan lagi dari tempat pingitan, atau adat feodal. Bentuk ketidakadilan terhadap perempuan sedang menampakkan wajah barunya. Masih banyak suara-suara perempuan yang dibungkam baik dari struktur ekonomi, politik, sosial dan media. Maka dari itu refleksi dari emansipatoris Kartini masih relevan sebagai panggilan untuk para perempuan utamanya, agar bangkit dan melakukan perubahan terhadap ketidakdilan tersebut.

Melawan Ketidakadilan dengan Bersuara Melalui Tulisan

Kartini tidak pernah menuntut kesempurnaan terhadap perempuan, tujuan Kartini melakukan emansipasi adalah membangun kesadaran bagi perempuan untuk dapat mengeksplorasikan kebebasan ruang dalam berkarya. artinya perempuan harus merdeka baik tekanan dari luar maupun dari diri sendiri.

Dalam luka-luka kemajuan, perempuan sering kali terbelenggu oleh krisis identitas, perempuan yang mengalami hal ini sering kali dieksploitasi dengan cara halus bahkan dijarah dengan cara kekerasan. Untuk melawan persoalan-persoalan diatas perlu kesadaran kebebasan, kesadaran berpikir dan kesadaran bersikap.

Sejatinya simbolik emansipasi bukan untuk memperlihatkan kehebatan pencapaian Kartini tetapi mengajak para perempuan untuk mampu berjalan secara utuh terhadap apa pilihannya dan peranannya dalam kehidupan. Adapun salah satu jalan untuk melawan ketidakadilan yakni dengan berani bersuara.

Terdapat banyak jalan yang dilakukan Kartini dalam memperjuangkan kemerdekaan perempuan, akan tetapi yang lebih utama dalam hal ini ialah keterbukaan berpikir dalam menentukan pilihannya. Kartini tidak saja berjuang melalui tulisan akan tetapi ia juga seorang seniman sebagaimana isi pikirannya juga ia tumpahkan melalui lukisan dan membatik, selain itu Kartini juga pandai mencari relasi yang luas untuk menyempurnakan keterbukaannya, membantu dalam berpikir, dan meluapkan ide atau gagasannya.

Terdapat banyak jalan yang dilakukan Kartini dalam memperjuangkan kemerdekaan perempuan, akan tetapi yang lebih utama dalam hal ini ialah keterbukaan berpikir dalam menentukan pilihan. Kartini juga seorang seniman sebagaimana isi pikirannya juga ia tumpahkan melalui lukisan dan membatik, selain itu Kartini juga pandai mencari relasi yang luas untuk menyempurnakan keterbukaannya, membantu dalam berpikir, dan meluapkan ide atau gagasannya.

Hal yang paling fundamentalis bagi Kartini adalah dengan cara menulis, Ia berpendapat bahwa pers adalah alat yang sangat ampuh untuk perjuangan. Hal ini ia buktikan dengan suratnya kepada Estelle Zehandelaar yang berbunyi "Sebagai Pengarang dapatlah aku secara besar besaran mewujudkan cita-citaku dan bekerja bagi pengangkatan derajat dan pengadaban rakyatku". Melalui tulisan, Kartini memperjuangkan ide-ide pembebasan dan membuka ruang diskusi intelektual dalam menuju transformasi sosial.

Oleh karena itu, sudah seharusnya perayaan hari Kartini tidak hanya sebagai momentum seremonial saja, melainkan menggali kembali semangat emansipatoris RA Kartini dengan mewujud perempuan progresif dalam menyuarakan hak perempuan dan perlawanan terhadap simbol ketidakadilan sosial.

Disetiap gagasan Kartini, ia tak pernah menekankan perempuan untuk terlihat sempurna. Tujuan memperjuangkan emansipatoris adalah untuk memberikan kesadaran kolektif bagi perempuan supaya bisa berpikir, bermimpi dan berani bersuara, yang pada akhirnya muara dari Revolusioner tersebut ialah perempuan peduli dengan keadilan dan kemanusiaan.

Penulis: Novia Ulfa Isnaini, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora UIN KH Ahmad Shiddiq Jember.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close