Warta

Manusia Modern: Ketika Identitas Berubah Menjadi Komoditas

Husna Mahmudah/Foto: Aktivis Autentik
Aktivis Autentik - Perkembangan zaman yang semakin modern kita dapat melihat keberadaan manusia yang tampaknya semakin jauh dari dirinya sendiri. Proses panjang yang mengiringi peradaban, dari revolusi industri hingga era digital, ternyata mengubah banyak hal, termasuk cara pandang kita terhadap manusia itu sendiri. Salah satu perubahan paling mencolok adalah bagaimana manusia saat ini cenderung dipandang dan diperlakukan sebagai komoditas. Fenomena tersebut menandakan terjadinya pergeseran nilai dalam kehidupan sosial dan budaya, yang mempengaruhi bukan hanya individu, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.

Dapat kita ketahui bahwa, komoditas adalah barang atau jasa yang diproduksi untuk dijual di pasar. Dalam konteks manusia, kita bisa melihat bagaimana individu sering kali diperlakukan seolah-olah mereka adalah produk yang bisa dijual, dibeli, atau diperdagangkan. Hal ini bisa dilihat dalam banyak aspek kehidupan modern, mulai dari dunia kerja, media sosial, hingga hubungan pribadi. Di dunia kerja, misalnya, seseorang sering kali dianggap lebih berharga berdasarkan seberapa produktif ia dapat bekerja atau seberapa banyak ia dapat menghasilkan keuntungan. Nilai seseorang sering kali diukur dari apa yang bisa mereka berikan untuk orang lain atau organisasi, bukan dari siapa mereka sebenarnya sebagai individu dengan kompleksitas emosi dan pikiran.

Selain itu, fenomena media sosial juga berperan besar dalam mengubah manusia menjadi komoditas. Setiap tindakan, ucapan, atau penampilan seseorang bisa dipandang sebagai produk yang siap untuk dikonsumsi oleh publik. Dalam dunia media sosial, banyak orang yang merasa perlu untuk selalu tampil sempurna, membagikan setiap momen dalam hidupnya, atau bahkan mengubah identitas mereka agar lebih menarik bagi pengikut. Ini menciptakan ilusi bahwa manusia hanya berharga jika mereka memiliki "nilai jual" tertentu, baik itu dalam bentuk popularitas, penampilan, atau kemampuan tertentu yang disukai orang lain.

Alih-alih merasa terhubung dengan diri mereka sendiri, banyak individu di dunia modern justru merasa terasing. Konsep "alienasi" ini mengacu pada keadaan di mana seseorang merasa terpisah dari dirinya sendiri atau masyarakat di sekitarnya. Karl Marx, seorang filsuf dan ekonom terkenal, menggambarkan alienasi sebagai proses di mana pekerja merasa terpisah dari hasil kerjanya dan dari dirinya sendiri karena sistem ekonomi yang ada. Dalam konteks modern, alienasi ini bisa dilihat dalam cara kita berinteraksi dengan dunia luar. Kita sering kali merasa terasing, baik secara emosional maupun sosial, karena kita lebih fokus pada bagaimana dipandang orang lain atau seberapa banyak kita bisa memperoleh keuntungan dari hubungan sosial yang kita bangun.

Perubahan cara pandang ini membuat manusia semakin mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih mendalam. Alih-alih mencari kebahagiaan dalam hubungan yang autentik atau pencapaian yang bersifat pribadi, banyak orang justru terjebak dalam perasaan tidak cukup atau kurang berarti jika mereka tidak dapat memenuhi standar sosial yang terus berubah. Kehidupan yang terlalu terfokus pada pencapaian material atau pengakuan publik dapat membuat seseorang kehilangan makna dalam hidupnya, karena mereka terjebak dalam pengejaran hal-hal yang bersifat sementara dan tidak menyentuh kedalaman diri mereka.

Namun, meskipun manusia modern telah banyak terpengaruh oleh kecenderungan menjadi komoditas dan merasa terasing, bukan berarti kita tidak bisa menemukan jalan kembali untuk menjadi lebih autentik. Salah satu cara untuk melawan alienasi ini adalah dengan kembali pada nilai-nilai dasar yang mengedepankan kebahagiaan batin, hubungan yang sehat, dan kesadaran diri. Kita bisa mulai dengan lebih menghargai diri kita sebagai individu yang bermakna dan memiliki potensi yang lebih dari sekadar produktivitas atau popularitas.

Kita juga perlu belajar untuk tidak terlalu mengandalkan pengakuan eksternal atau pencapaian material sebagai ukuran kebahagiaan. Alih-alih, fokuslah pada pencapaian yang memberi makna lebih dalam, seperti hubungan yang sehat dengan keluarga, teman, dan diri sendiri. Dengan demikian, meskipun manusia modern menghadapi tantangan besar dalam menghindari terjebak menjadi komoditas, kita masih memiliki kemampuan untuk merebut kembali kontrol atas kehidupan kita dan menemukan makna sejati dalam eksistensi kita.

Manusia modern memang telah mengalami perubahan besar dalam cara pandangnya terhadap diri sendiri dan perannya dalam masyarakat. Dengan semakin terhubungnya dunia melalui teknologi dan semakin kuatnya nilai-nilai kapitalis, manusia sering kali merasa seperti komoditas yang harus memenuhi standar tertentu untuk dihargai. Hal ter mengarah pada terjadinya alienasi, di mana individu merasa terpisah dari dirinya sendiri. Namun, dengan kesadaran dan usaha untuk kembali pada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih mendalam, kita masih bisa menemukan cara untuk hidup dengan lebih autentik dan bermakna.

Penulis: Husna Mahmudah, Aktivis Perempuan.

0 Komentar

Cari Sesuatu di Sini

Close