![]() |
Analisis Kritis terhadap Gagasan Kandidat Ketua PC PMII Kota Samarinda 2024/Foto: Istimewa |
Namun, seperti pernyataan yang sering diungkapkan oleh Rocky Gerung, “Pikiran hanya disebut pikiran kalau dipertengkarkan,” pemilihan ini tidak seharusnya hanya menjadi ajang untuk memaparkan visi dan misi secara normatif. Sebaliknya, inilah saat yang tepat untuk menguji ketangguhan gagasan, keberanian berpikir, dan integritas dari para calon ketua tersebut.
Kritik utama yang perlu diajukan dalam konteks ini adalah sejauh mana para calon mampu mengartikulasikan ide-ide mereka dalam tataran praktis, bukan sekadar retorika yang kosong. Apakah gagasan-gagasan yang diusung benar-benar menjawab tantangan PMII di Kota samarinda saat ini, atau justru merupakan pengulangan dari janji-janji yang sering kali terdengar klise? Seperti para tokoh politik yang sekadar omon-omon saja? Lebih penting lagi, apakah para calon berani berdebat dan mempertahankan gagasan mereka di hadapan audiens kritis yang tidak hanya ingin mendengar janji-janji manis, tetapi juga menuntut pemahaman yang mendalam tentang realitas gerakan mahasiswa yang akan mereka pimpin?
M. Ramdan: Kontribusi Generasi Baru atau Sekadar Slogan?
Visi yang diusung oleh M. Ramdan, “Kontribusi Generasi Baru Menuju PMII Kompetitif & Berkarakter Visioner,” tampak ambisius dan menggugah semangat pembaruan. Namun, jika ditelaah lebih jauh, pertanyaan kritis yang muncul adalah: apa yang dimaksud dengan generasi baru? Apakah ini hanya sekadar referensi generasi muda yang berpartisipasi dalam organisasi, ataukah mencakup pendekatan baru dalam gerakan PMII itu sendiri? Kata-kata “kompetitif” dan “visioner” dalam visi Anda tampaknya ambigu. Anda berbicara tentang pentingnya PMII yang kompetitif, tetapi tidak ada pemetaan yang jelas tentang bagaimana kompetisi ini harus dijalankan. Apakah kompetisi ini hanya diukur dari seberapa banyak kader PMII yang dilibatkan dalam kegiatan ataukah ada ukuran yang lebih spesifik dan substansial?
Misi yang dirumuskan oleh Ramdan, yaitu “PMII Berkesinambungan, Bereksplorasi, Berkemajuan, dan Berideologi,” seolah memberikan kerangka yang jelas. Tetapi ketika dipertanyakan secara lebih mendalam, kata-kata seperti “berkesinambungan” dan “bereksplorasi” terasa abstrak tanpa rencana konkret. Apa bentuk eksplorasi yang diusulkan? Bagaimana gerakan yang berkemajuan itu diukur dan dipertanggungjawabkan?
Ramdan tampaknya memahami pentingnya arah gerakan yang ideologis, tetapi ironisnya, tidak ada penjelasan yang eksplisit tentang ideologi seperti apa yang ingin ia tanamkan dalam PMII. Apakah PMII harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai organisasi maupun nilai-nilai tradisional Islam dan kebangsaan yang selama ini menjadi landasan organisasi? Atau justru Ramdan berani mengusulkan reinterpretasi yang lebih progresif dan relevan dengan konteks zaman? Tanpa keberanian untuk menjelaskan arah ideologi yang spesifik, gagasan ini berisiko menjadi jargon yang normatif saja.
Stephen R. Covey dalam bukunya 7 habits of highly effective people menyatakan bahwa visi yang jelas dan dapat diukur adalah kunci untuk memimpin secara efektif. Namun, visi Anda terlalu luas dan abstrak. Dalam realitas organisasi mahasiswa, kejelasan visi dan implementasi program adalah hal krusial. Tanpa itu, Anda berisiko terjebak dalam perangkap sloganisme yang tidak membawa dampak nyata. Di sini para anggota perlu diyakinkan dengan kejelasan visi Yang diucapkan oleh seorang pemimpin yang menerima mandat amanah kepercayaan dari anggotanya jika tidak tentu konflik berkepanjangan menjadi risiko ke depan berujung pada stagnasi gerakan.
Rahmadhani: Kritis dan Kolaboratif, Tetapi Sampai Akan Sejauh Mana? Dengan apa?
Visi Rahmadhani untuk menjadikan PMII kreatif dengan kritis dan kolaboratif juga tampak menarik pada pandangan pertama. Namun, penting untuk mengeksplorasi sejauh mana konsep kritis yang diusulkan benar-benar mampu diimplementasikan? Dan dengan apa Kita bisa mengeksplor sejauh itu? Pemimpin yang kritis bukan hanya mereka yang mampu mengkritik pihak lain, tetapi juga yang mampu menerima kritik terhadap diri mereka sendiri. Apakah Rahmadhani siap untuk berdebat secara terbuka tentang kebijakan dan gagasannya di hadapan para anggota PMII?
Ketika sahabat berbicara tentang kajian intelektual dan penguatan rayon serta komisariat, tetapi belum ada elaborasi yang jelas mengenai bagaimana kajian ini dapat dikembangkan menjadi aksi nyata. Dale Carnegie dalam bukunya how to win friends & influence people menyebutkan bahwa hubungan interpersonal dan komunikasi efektif adalah inti dari kepemimpinan yang kuat. Namun, dalam misi Anda, belum terlihat bagaimana Anda akan membangun jejaring yang kuat dengan pihak eksternal atau sesama kader di internal PMII.
Selain itu, konsep “kolaboratif” perlu diuji. Apakah kolaborasi yang Anda maksud hanya terbatas pada lingkungan internal PMII, atau Anda juga memiliki strategi untuk membangun sinergi dengan organisasi eksternal yang mungkin memiliki pandangan berbeda? Kolaborasi tidak hanya tentang kerja sama, tetapi juga tentang kemampuan untuk menyatukan visi dari berbagai pihak yang berbeda. Ini membutuhkan keterampilan diplomasi dan komunikasi yang mendalam, yang Belum bisa dibuktikan hanya Dari penjabaran visi misi saja.
Rahmadhani menyebutkan pentingnya kolaborasi dengan pemerintah daerah dan stakeholder lainnya. Ini tentu merupakan strategi yang diperlukan untuk memperluas jangkauan gerakan. Namun, kolaborasi semacam ini juga mengandung risiko. Seberapa kritis Rahmadhani akan bertahan ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah yang mungkin tidak selalu sejalan dengan visi dan misi PMII? Mampukah ia menjaga idealisme organisasi dalam situasi di mana kolaborasi dapat berujung pada kompromi yang berlawanan?
Lebih jauh lagi, dalam misi sahabat Rahmadhani yang berfokus pada pemerataan jumlah kader dan penguatan komisariat, pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah peningkatan kuantitas ini sejalan dengan peningkatan kualitas? Memperbanyak jumlah kader tanpa diimbangi dengan peningkatan kualitas intelektual dan moral justru berisiko memperlemah gerakan. Bagaimana sahabat Rahmadhani berencana memastikan bahwa setiap kader yang direkrut memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai PMII dan mampu mengemban tanggung jawab kepemimpinan di masa depan? Sementara dari tataran ketua Rayon saja Belum mampu mengikuti jenjang kaderisasi Yang diharuskan.
Taufikuddin: PMII yang Menyenangkan atau Gagal Membawa Perubahan?
Visi Taufikuddin yang menggagas “PMII Seru” dengan pembaruan model kaderisasi dan ekosistem pergerakan yang menyenangkan memancing pertanyaan mendasar: apakah gerakan mahasiswa harus selalu menyenangkan? Konsep “PMII Seru” yang Anda tawarkan terkesan terlalu ringan dan dangkal jika dibandingkan dengan kompleksitas yang dihadapi oleh PMII sebagai organisasi mahasiswa yang bergerak dalam ranah intelektual dan sosial. Sebagai organisasi yang dibentuk untuk memperjuangkan keadilan sosial dan membela kaum mustad'afin, PMII tentu tidak selalu bisa menghindari konflik dan perlawanan. Meskipun menciptakan suasana organisasi yang nyaman penting untuk menjaga semangat kader, Sahabat Taufikuddin harus berhati-hati agar tidak mengubah PMII menjadi sekadar klub sosial yang kehilangan daya kritisnya.
Taufikuddin harus berhati-hati agar pendekatan “seru” ini tidak menjadi jebakan hedonisme. Keseruan adalah konsep yang menarik, tetapi apakah itu relevan dengan tantangan besar yang dihadapi PMII Samarinda? Mengubah organisasi menjadi “seru” bisa mengarah pada pola pikir yang mengabaikan substansi dan hanya fokus pada hiburan semata. Ini sangat berisiko jika tidak dibarengi dengan pencapaian nyata yang bermakna. Pembaruan model kaderisasi perlu didasarkan pada kebutuhan nyata kader, bukan hanya sekadar perubahan cover yang terlihat menyegarkan tetapi tidak meresap ke dalam jiwa organisasi. Menyenangkan itu baik, tetapi harus diikuti dengan hasil yang dapat diukur sehingga membuka Ruang untuk melahirkan kader yang transformatif.
Taufikuddin, dalam buku The 5 Levels of Leadership oleh John Maxwell, kepemimpinan sejati tidak hanya tentang membangun hubungan emosional atau menciptakan suasana “seru”, melainkan tentang menghasilkan dampak nyata dan mengembangkan kader secara intelektual dan personal. Jika “PMII Seru” hanya berfokus pada hiburan tanpa tujuan strategis yang jelas, Anda berisiko terjebak di level kepemimpinan paling dasar, yaitu kepemimpinan berbasis posisi dan hubungan semata. Tantangan Anda adalah memastikan keseruan tersebut menghasilkan pencapaian nyata serta membentuk kader yang berdaya saing dan berkembang. Bagaimana Anda akan memastikan bahwa visi ini mampu menciptakan hasil konkret dan mendalam bagi organisasi, bukan hanya sekadar popularitas?
Tufikuddin juga menekankan kemandirian organisasi sebagai salah satu misinya. Namun, kemandirian yang dimaksud seharusnya lebih dari sekadar finansial. PMII harus mandiri dalam pemikiran, terlepas dari tekanan eksternal, baik dari pemerintah, institusi pendidikan, maupun kelompok kepentingan lainnya. Apakah Taufikuddin siap memperjuangkan kemandirian ini ketika dihadapkan pada intervensi yang mungkin datang dari luar?
Kritik selanjutnya berkaitan dengan Orientasi gerakan sahabat Taufikuddin untuk memperjuangkan kaum mustad'afin. Klaim ini tentu sangat mulia, tetapi pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana konkretisasinya? Dalam konteks Samarinda, siapa yang termasuk dalam kategori mustad'afin yang ingin dibela oleh PMII di bawah kepemimpinannya? Apakah hanya retorika tanpa substansi, atau ada strategi yang jelas untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang termarjinalkan? Kita perlu standarisasi konkret untuk memaksimalkan peran sebagai organisasi pembela kaum mustad'afin itu sendiri
Simpulan pada debat yang harus Dihidupkan bangkitkan Kepemimpinan dengan nalar kritis dan Gerakan
Dalam analisis ini, Belum terlihat bahwa ketiga calon ketua PMII Samarinda membawa gagasan yang menarik akan tetapi masih penuh ruang untuk diperdebatkan. Seperti kata Rocky Gerung, ide hanya disebut ide jika dipertengkarkan. Sebuah debat yang tidak hanya formalitas, tetapi menjadi arena adu argumentasi yang mampu menguji kedalaman pemahaman mereka terhadap tantangan PMII dan bangsa ini.
Tanpa uji gagasan yang kritis, proses pemilihan ini berisiko menjadi ritual yang hampa makna, di mana janji-janji yang diucapkan hanyalah angin lalu tanpa akuntabilitas. Bagi para kandidat, ini bukan hanya tentang memenangkan kursi ketua, tetapi tentang apakah mereka benar-benar siap memimpin dengan pemikiran yang matang dan bertanggung jawab.
Untuk ketiga calon ketua, membangun kepemimpinan yang ideal harus melampaui sekadar slogan menarik. Berdasarkan pandangan Dale Carnegie, John Maxwell, dan Stephen R. Covey, kepemimpinan sejati dimulai dengan kemampuan membangun hubungan interpersonal yang kuat, kepercayaan, dan komunikasi yang efektif. Selain itu, pemimpin ideal harus fokus pada pengembangan diri dan tim secara berkelanjutan, membantu setiap individu mencapai potensi terbaiknya. Visi yang jelas, integritas, serta keberanian untuk menerima kritik adalah kunci dalam memimpin PMII Samarinda ke arah yang lebih baik.
Mari sahabat kader PMII se Kota Samarinda mari berpartisipasi secara aktif dengan mengawal perubahan ini dengan menjunjung tinggi prinsip demokrasi selama proses Konfercab 2024 ini untuk memilih pemimpin dan kader terbaik Samarinda dengan rasa optimisme akan perubahan yang lebih baik.
Salam Pergerakan.
Penulis: Hizbul Aulia Indriansyah, Kader PMII Samarinda.
0 Komentar